Oleh: Fahmi Djaguna
Dekan FKIP UNIPAS Pulau Morotai
________
“JIKA kita terus mengajarkan anak-anak seperti hari ini, kita merampas masa depannya.” Kata-kata John Dewey (1916) ini menjadi pengingat bahwa pendidikan tidak boleh statis. Pendidikan harus terus tumbuh dan merespons tantangan zaman. Dalam konteks Pulau Morotai, pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi pena yang menulis masa depan. Dalam pena itulah, harapan Morotai Emas dapat digoreskan menuju visi besar Indonesia Emas 2045.
Morotai memiliki posisi strategis, tidak hanya secara geografis sebagai gerbang Pasifik, tetapi juga sebagai titik temu sejarah dan budaya yang kaya. Namun, potensi besar ini akan tetap terpendam jika tidak ditopang oleh sistem pendidikan yang kokoh, berkelanjutan, dan kontekstual. Maka pendidikan di Morotai bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi merupakan tugas peradaban; membangun manusia, membangkitkan harapan, dan menyulam masa depan.
Morotai: Titik Nol Harapan Pendidikan Kepulauan
Kenyataan pendidikan di wilayah kepulauan seperti Morotai menyimpan banyak tantangan. Akses terbatas, ketimpangan sarana prasarana, kesenjangan kualitas guru, dan kurangnya integrasi budaya lokal dalam kurikulum masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Namun, di balik itu semua, Morotai adalah ladang subur untuk tumbuhnya inovasi pendidikan berbasis lokalitas.
Mengutip Soedjatmoko (1985), “Pendidikan adalah proses pembudayaan yang mengantarkan manusia pada martabatnya.” Pendidikan Morotai harus membawa anak-anaknya bukan hanya pada kompetensi global, tetapi pada pengakuan akan jati dirinya sebagai manusia kepulauan yang berdaulat, kreatif, dan beradab.
Menulis Masa Depan Melalui Peta Jalan Pendidikan
Gagasan tentang “Peta Jalan Pendidikan Morotai” harus menjadi prioritas utama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pulau Morotai. Dokumen ini bukan sekadar rencana kerja, melainkan peta arah yang menegaskan di mana kita berada, ke mana kita menuju, dan bagaimana kita sampai ke sana. Peta jalan ini harus dibangun berbasis data, mendengarkan suara masyarakat pulau, dan menjawab kebutuhan khas wilayah kepulauan: dari pendidikan dasar hingga pendidikan vokasional yang terhubung dengan potensi laut, pertanian, pariwisata, dan teknologi hijau.
Dalam semangat Tan Malaka (1921) yang menyatakan bahwa “pendidikan adalah alat pembebasan bangsa,” maka peta jalan pendidikan Morotai harus membebaskan dari ketergantungan, dari ketertinggalan, dan dari keterbatasan harapan. Ia harus memerdekakan daya cipta dan menyalakan kembali optimisme generasi muda di pulau ini.
Pendidikan sebagai Akselerator Menuju Indonesia Emas 2045
Indonesia menargetkan menjadi negara maju pada tahun 2045. Visi ini tak mungkin dicapai tanpa pemerataan kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri, termasuk daerah kepulauan seperti Morotai. Justru dari titik-titik terluar inilah, makna keadilan sosial diuji. Morotai harus mengambil peran dalam simfoni besar ini, bukan sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai penyumbang gagasan dan inovasi.
Pendidikan di Morotai harus menjelma menjadi akselerator perubahan; menghadirkan sekolah berbasis digital di pulau-pulau terluar, memperkuat literasi budaya lokal, membangun pusat-pusat vokasi berbasis sumber daya alam setempat, hingga menyiapkan generasi muda Morotai sebagai talenta global dengan akar lokal. Semua ini hanya mungkin jika ada komitmen kebijakan yang terukur dan inklusif.
Kebijakan Berbasis Nilai dan Masa Depan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pulau Morotai perlu melakukan transformasi pendekatan. Selain membangun fisik sekolah, perlu juga membangun “jiwa” pendidikan; kualitas guru, relevansi kurikulum, partisipasi masyarakat, serta kolaborasi lintas sektor. Keterlibatan universitas, dan lembaga-lembaga strategis harus menjadi bagian dalam dialog kebijakan pendidikan.
Pendidikan bukan sekadar tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif; guru yang menginspirasi, orang tua yang mendampingi, siswa yang bersemangat, dan komunitas yang mendukung. Dalam orkestrasi ini, peran pemimpin daerah menjadi konduktor utama. Jika visi Morotai Emas benar-benar ingin diwujudkan, maka pendidikan harus menjadi prioritas utama anggaran dan politik pembangunan.
Pena Harapan Itu Bernama Pendidikan
Pendidikan adalah pena yang menulis sejarah masa depan. Morotai memiliki kertasnya, tanah, laut, manusia, dan budaya. Maka kini saatnya meruncingkan pena itu: dengan visi, peta jalan, dan komitmen bersama. Harapan akan Morotai Emas tidak boleh berhenti pada slogan. Ia harus hidup dalam setiap ruang kelas, dalam setiap perpustakaan kecil di desa, dalam setiap semangat anak-anak pulau yang bermimpi menjadi dokter, guru, arsitek, atau nelayan cerdas.
Sebagaimana dikatakan oleh Paulo Freire (1970), “Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah manusia dan manusialah yang akan mengubah dunia.” Maka mari kita ubah Morotai melalui pendidikan dan biarkan pena itu menuliskan peradaban yang berkilau emas. Semoga. (*)
Tinggalkan Balasan