Tandaseru — Dewan Pengurus Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPD HNSI) Provinsi Maluku Utara menyoroti lemahnya pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku Utara, terhadap aktivitas penangkapan ikan di sejumlah wilayah perairan laut Maluku Utara.

Lemahnya pengawasan DKP, menurut Plt. Ketua DPD HNSI Maluku Utara, Hamka Karepesina, S.Pi.,M.Si, mengakibatkan terjadinya konflik antar nelayan lokal Maluku Utara dengan nelayan dari luar Maluku Utara. Seperti pada beberapa kasus yang terjadi di perairan Loloda dan Morotai.

“Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara terkesan mengabaikan persoalan ini berlarut-larut. Untuk itu DKP di bawah nakhoda Fauzi Momole, S.Pi, harus menaruh perhatian terhadap persoalan ini karena apabila dibiarkan berlarut maka beberapa perairan di Maluku Utara akan menjadi arena pertarungan antara nelayan lokal dan nelayan dari luar daerah,” ujar Hamka, Kamis (5/6).

Hamka menyebutkan, memang tidak dapat dipungkiri perubahan arah kebijakan perikanan tangkap yang dikonsepkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui perubahan perizinan bagi armada tangkap yang memiliki izin pusat, perlahan namun pasti akan menimbulkan gesekan antara nelayan lokal dan nelayan luar.

Hal ini dikarenakan kapal yang berizin pusat dapat melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia yang tercantum dalam surat izin penangkapan ikan (SIPI).

Perihal hal ini DPD HNSI Maluku Utara, kata Hamka, telah mencatat beberapa gesekan insiden yang terjadi antara nelayan lokal dan nelayan luar Maluku Utara di perairan Loloda dan Morotai, seakan mempertegas bahwa implementasi kebijakan ini harus disertai dengan sosialisasi yang masif kepada nelayan kecil.

Terlepas dari hal itu, lanjut Hamka, keberadaan kapal penangkap ikan dari luar seperti dari Bitung bukan tidak berizin atau ilegal tetapi mereka memiliki dokumen penangkapan yang lengkap, di antaranya memiliki izin penangkapan berupa SIPI di atas 12 mil, dan lain-lain yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.

“Itu artinya, mereka (nelayan dari luar Maluku Utara) berhak melakukan penangkapan ikan di laut Maluku Utara,” cetusnya.

Menurut Hamka, aksi pengusiran bahkan menjurus ke pembakaran kapal oleh nelayan Morotai dan Loloda dipicu persaingan dan kekesalan terhadap kapal dari luar yang menangkap ikan pada daerah yang sama dengan nelayan lokal. Imbasnya, menimbulkan kerugian dan hal ini tidak bisa dihindari karena fokusnya pada alat bantu penangkapan berupa rumpon yang tersebar di perairan Loloda dan Morotai.

“Untuk itu DPD HNSI Maluku Utara berharap dengan kepimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Ibu Sherly Laos dan Sarbin Sehe menaruh atensi untuk menyelesaikan persoalan ini. Salah satu cara dengan instruksikan kepada Fauzi Momole selaku Plt Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara agar mengambil sikap dan tindakan tegas untuk memfasilitasi penyelesaian gesekan ini,” jelasnya.

Hamka menambahkan, persoalan pengawasan kini sudah menjadi kewenangan provinsi. Dengan begitu, tindakan ini dapat dilakukan dengan identifikasi kepemilikan rumpon agar dapat dilakukan penertiban penempatan rumpun dan kapal yang memiliki izin dengan daerah penangkapan berdasarkan WPP harus segera diperkenalkan melalui sosialisasi kepada nelayan kecil di pesisir pantai Loloda, Morotai, dan Halmahera Timur.

DPD HNSI kata dia, memandang bahwa dampak dari konflik ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial. Ketegangan antara nelayan lokal dan luar dapat meningkatkan risiko terjadinya bentrokan fisik. Ketidakpastian tersebut menciptakan suasana yang tidak nyaman dan mengganggu stabilitas sosial di wilayah.

“Dalam kesempatan ini DPD HNSI akan melakukan koordinasi dengan DPD HNSI dari Sulawesi Utara bapak Joune J.E Genda yang juga sebagai Bupati Minahasa Utara,” tukasnya.

Ardian Sangaji
Editor
Ardian Sangaji
Reporter