Oleh Asmar Hi. Daud
Buku Ghost Fleet karya P.W. Singer dan August Cole menggambarkan skenario fiksi perang dunia ketiga yang menegangkan. Namun di balik narasi teknologinya, tersimpan satu pesan penting: negara bisa runtuh bukan karena invasi militer, melainkan oleh kerusakan dari dalam, termasuk kehancuran sistem pendidikannya.
Sayangnya, kita tak perlu menunggu fiksi itu menjadi kenyataan. Di Indonesia, tanda-tanda kemunduran pendidikan sudah nyata. Di Maluku Utara, “Unkhair, mungkin adalah salah satu fenomenanya.” Kampus, yang seharusnya menjadi penjaga nilai intelektual dan moral kini tergelincir ke dalam arus politik kekuasaan. Pemilihan rektor tak lagi sepenuhnya soal kompetensi akademik, tetapi menjadi ajang kompromi dan lobi. Dosen pun tidak sedikit yang terjebak dalam peran politik praktis, menjauh dari posisi etis sebagai pendidik dan pengawal nilai.
Dalam laporan Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terungkap bahwa skor integritas sektor pendidikan hanya mencapai 69,50—jauh dari ideal. Praktik menyontek ditemukan di 78% sekolah dan 98% perguruan tinggi, sementara 43% responden mengakui terjadinya plagiarisme. Lebih dari sekadar angka, temuan ini mencerminkan penyakit kronis dalam dunia pendidikan kita: lemahnya etika dan hilangnya orientasi.
Ironisnya, situasi ini terjadi dalam suasana publik yang haus akan pendidikan berkualitas. Orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anak ke kampus ternama, tapi tidak semua sadar bahwa banyak institusi pendidikan tinggi justru sedang mengalami degradasi nilai. Pendidikan berubah menjadi industri sertifikat, bukan proses pembentukan karakter.
Di negara-negara seperti Jepang, Jerman, dan China, pendidikan dasar menjadi fondasi utama kemajuan bangsa. Jepang menanamkan pendidikan moral sejak dini, Jerman menguatkan sistem vokasi berbasis kebutuhan industri, dan China menyatukan pendidikan tinggi dengan agenda nasional teknologi dan riset. Mereka membuktikan bahwa pendidikan bukan sekadar kurikulum dan nilai, melainkan arah dan komitmen jangka panjang.
Sementara itu, Indonesia terlalu sibuk dengan perubahan kurikulum, birokrasi akreditasi, dan pengelolaan dana pendidikan, tetapi melupakan hal paling mendasar, yaitu: value (nilai). Kampus yang seharusnya menjadi laboratorium kebebasan berpikir justru dikekang oleh intervensi kekuasaan. Mahasiswa menyaksikan itu, lalu belajar secara diam-diam bahwa nilai bisa dinegosiasikan, integritas bisa ditukar, dan ijazah bisa menjadi tujuan, bukan hasil dari proses mendalam.
Jika dunia kampus tak segera dibersihkan dari praktik pragmatisme kekuasaan, maka kita sedang menyiapkan generasi yang cerdas tetapi kehilangan arah. Persis seperti yang digambarkan Ghost Fleet: bangsa yang tampak kuat di luar, tapi sesungguhnya memiliki fondasi dalam yang keropos.
Tinggalkan Balasan