Oleh: Thomas Ch. Syufi

Direktur Eksekutif the Papuan Observatory for Human Rights (POHR)

_______

PARA kepala daerah, baik bupati/wali kota maupun gubernur di seluruh Tanah Papua diminta berhenti meminta pemekaran ke pemerintah pusat, walaupun itu permintaan masyarakat yang didorong oleh segelintir elite lokal. Karena, pemekaran di Papua sesuatu yang tidak mendesak, bahkan itu terkesan memiliki muatan politis dan ekonomis lebih besar ketimbang basis kebenaran yang menyentuh pada aspek kemanusiaan, seperti keadilan dan kesejahteraan bersama.

Bila dirunut ke belakang, terdapat enam provinsi dari 42 daerah, terdiri dari 40 kabupaten, dua kota di Tanah Papua yang sudah ada, namun tidak memberi dampak yang siginifikan. Artinya, sejak Reformasi 1998 lebih dari puluhan daerah otonom baru (DOB) yang sudah dimekarkan belum menjawab kesejahteraan masyarakat, terutama orang asli Papua (OAP). Tampak pemekaran makin marak, hidup orang Papua makin susah, terhimpit dengan berbagai persoalan kemiskinan dan ketidakadilan struktural. Misalnya ditilik data Pusat Statistik (BPS) 2023 secara gamblang menyebutkan bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat paling teratas yang tergolong 10 provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar. Di mana provinsi Papua menduduki peringkat pertama sebagai provinsi termiskin (26,03 persen) dan provinsi Papua Barat berada di peringkat kedua (20,49 persen). Fakta ini terjadi di tengah maraknya pemekaran di Tanah Papua dan penggelontoran dana Otonomi Khusus yang kian masif hingga hampir mencapai ribuan triliun rupiah, dengan OAP hanya berjumlah sekitar 2 juta. Sementara daerah lain yang tidak mendapatan status otonomi khusus, tidak dilakukan pemekaran daerah, penduduknya banyak, dan sumber daya alamnya pas-pasan bahkan dibilang daerah miskin, tetapi lebih unggul tingkat kesejahteraan dan akselerasi pembangunannya ketimbang Papua.

Ini sebuah fenomena yang perlu dikaji dan diintropeksikan oleh segenap para pemimpin formal di Tanah Papua, baik bupati/wali kota, dan gubernur. Ini juga akibat dari proses pemekaran yang dilakukan secara tergesa-gesa, gegabah, dan dipaksakan oleh pemerintah pusat tanpa melakukan kajian dan persiapan yang matang sebelum dilakukan sebuah pemekaran DOB.

Kebanyakan pemekaran DOB di Tanah Papua dilakukan atas hasil kajian dan bisikan Badan Intelijen Negara (BIN), bukan kajian atau riset ilmiah, hingga melahirkan masalah yang tak pernah berkesudahan. Seperti 6 provinsi baru di Tanah Papua, termasuk Papua Barat adalah lahir dari proses yang ilegal dan tidak memiliki landasaran hukum. Provinsi tersebut semua lahir melalui penyelundupan hukum dan pembegalan terhadap undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, serta melanggar prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan yang diubah secara sepihak oleh pemerintah pusat dan DPR RI.

Kegagalan pembangunan di Papua bukan karena kurangnya pemekaran daerah, tetapi krisis keteladanan pemimpin. Tidak ada pemimpin kepala daerah yang memiliki kemampuan leadership dan manajerial yang mumpuni untuk mengatur pemerintahan dan mengurus masyarakat. Ditambah karakater dan mentalitas pemimpin yang keropos: hidup materialistik dan hedonis, pesta pora di dunia biokrasi, jadi sulit membangun daerah masyarakat. Pemimpin hidup dalam keserakahan, keangkuhan, keegoisan, juga minimnya kapabilitas kepemimpinan dan manajerial yang baik, sulit bagi seorang kepala daerah dalam mendorong perubahan yang berarti.

Isu pemekaran dan bagi-bagi uang kepada masyarakat adalah salah satu cara para kepala daerah menutupi kelemahannya dalam memimpin, termasuk melakukan inovasi dan membangun. Padahal kepala daerah harus menjadi strong leader, memimpin dengan disiplin, jujur, rendah hati, serta totalitas pengorbanan menjadi kemutlakan yang pantang ditawar, conditio sine qua non. Jadi, persoalan di Tanah Papua adalah bukan perbanyak pemerkaran DOB, tetapi krisis keteladanan pemimpin yang jujur, disiplin, sederhana, visioner, dan berani berkorban (altruistik).

Mungkin salah satu hal yang membuat orang Papua gagal meraih mimpi kesejahteraan dan keadilan karena dalam diri para pemimpinnya itu dibelenggu dan dilingkupi dengan sikap kesombongan dan hidup dalam keserakahan, tidak memahami arti sesungguhnya dari seorang pemimpin yang harus berani berkorban dan menderita untuk kesejahteraan rakyatnya. Bukan kesejahteraan dan kejayaan pribadi, keluarga, dan para loyalisnya. Juga pemekaran di Papua tidak membawa manfaat apa-apa, kecuali pemperkaya elite-elite lokal, meyakinkan masyarakat internasional bahwa kebijakan pemerintah Indonesia berupa Otsus di Papua sukses dilaksanan, untuk mengubur persoalan ketidakadilan dan pelanggaran HAM masif dan sistemik yang terjadi di Tanah Papua sejak awal dakade 1960-an sampai saat ini.
Bahkan, dilakukan pemekaran DOB yang begitu banyak tidak dibarengi anggaran yang besar. Justru pembiayaan DOB hampir semunya dibabankan kepada daerah yang membiayai sendiri, termasuk pemangkasan anggaran yang bersumber dari Otonomi Khusus Papua untuk membiayai segala kebutuhan DOB.

Ini merupakan sesuatu yang antagonistik sekaligus sebuah fenomena yang amat pelik bagi masyarakat Papua, maka suka atau tidak, pemekaran di Papua harus “dilemarieskan” atau moratorium (ditangguhkan) sementara. Mungkin sampai 20 atau 50 tahun lagi, barulah dilakukan dievaluasi, apakah dimekarkan DOB dilanjutkan atau tidak, tergantung kondisi objektifnya. Maka, saat ini jangan memaksakan pemerkaran untuk kepentingan para elite dan pebisnis nasional (oligarki) masuk merampok dan mengeruk sumber daya alam di daerah-daerah yang sulit diakses saat ini, karena dengan pemekaran semua kepentingan bisnis mereka di Tanah Papua bisa terjangkau.
Karena itu, kepala daerah yang baru dilantik atau yang akan dinaugurasi nanti, sebaiknya mengurungkan hasrat kekuasaannya untuk meminta pemekaran DOB. Hentikan pendekatan populisme politik palsu dan pikiran pragamtisme kekuasaan sempit dengan meminta pemekaran daerah baru di seluruh Tanah Papua. Bila perlu para kepala daerah bersama masyarakat Papua bersatu dalam tarikan napas gerakan tolak pemekaran yang ditawarkan oleh pemerintah pusat.

Pemekaran dan Otonomi Khusus adalah sebuah kebijakan politik nasional yang tidak memiliki alasan yang rasional dan objektif. Otsus merupakan sebuah kebijakan politik parsial yang dilakukan oleh Jakarta untuk meredam gejolak dan aspirasi referendum untuk kemerdekaan Papua, melalui slogan akselerasi kesejahteraani masyarakat Papua. Selain itu, kebijakan Otsus sebagai antitesis terhadap pendekatakan militer yang telah gagal dilterjunkan pada masa Orde Baru untuk Papua, Aceh, dan Timor Timur (kini Timor Leste). Di mana, salah satu kekalahan politik pemerintah Indonesia dalam melancarkan pendekatkan keamanan yang dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM) dalam penyelesaian konflik 24 tahun (1975-1999) di Timor Timur yang berakhir tragis, yaitu Timor Timur harus merdeka menjadi negara berdaulat melalui proses plebisit atau referendum, 30 Agustus 1999.
Pemerintah pusat memandang pendekatakan keamanan yang dilakukan di Timor Timur telah gagal total bak menjaring angin. Karena 60.000 sampai ratusan ribu tentara yang dikirim ke Tim Tim tidak mampu meredam will of people Timor Timur yang getol menyerukan kemerdekaannya sebagai jalan terbaik untuk mengakhiri penindasan dan kolonialisme di bekas provinsi ke-27 RI tersebut. Itu merupakan keinginan luhur dan kehendak kolektif dari mayoritas masyarakat Tim Tim, bukan kemauan para elite lokal yang berfiliasi dengan elite nasional, yang sibuk mengeksploitasi rakyat dan sumber daya alam di Timur Timur, sekaligus merenggut kebebasan mereka untuk menentukan nasibnya sendiri.

Selain menganggap masalah Tim Tim adalah hal minor, tapi juga para elite politik Jakarta dianggap salah merangkul dan berkolaborasi dengan elite lokal, seperti Gubernur dan para Bupati yang saban hari hanya berfungsi sebagai kelompok oportunis dan pragmatis, yang telah mengalami degradasi moral dan kehilangan kepercayaan (distrust) di mata masyarakat, hingga sukar mengendalikan situasi di daerah yang kini menjadi satu-satunya negara berbahasa Portugis di Asia Tenggara itu harus merdeka.

Jadi kembali pada pokok permasalahannya. Bahwa Otonomi Khusus dan pemekaran di Papua, membuka peluang korupsi, pesta pora, dan keserakahan pejabat-pejabat lokal yang punya kemampuan minimalis secara spiritual, intelektual, dan emosional. Lihat contoh nyata, apa fungsi dan kinerja DPR Pengangkatan Jalur Otsus di tingkat kabupaten/kota, dan provinsi, termasuk MRP, kecuali menjadi lembaga pengangguran atau ‘menara gading’ di tengah lautan kemiskinan dan ketidakadilan sistemik yang membelit masyarakat Papua di Bumi Cenderawasih. Karena itu, sejatinya kepala daerah yang sudah diberi mandat oleh rakyat, dengan menggengam kekuasaan untuk mengurus kesejahteraan rakyat, beranilah melakukan inovasi dan terobosan yang spektakuler yang menyentuh persoalan subtansial rakyat Papua. Bukan sebaliknya—sedang berkuasa lalu banyak mengeluh, mengemis, dan merengek-rengek minta pemerkaran DOB di Jakarta bak gelandangan dan pelacur politik—yang jauh dari harga diri. Manfaatkan kewenangan yang diberikan, dengan melakukan sesuatu demi kesejahteraan masyarakat Papua sekaligus proteksi terhadap kehidupan manusia dan alam Papua. Dan jangan merusak alam (hutan) Papua demi kepentingan pragmatis kekuasaan dan bisnis semata, dengan cara pemekaran DOB! Liberte. (*)