Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP & Pascasarjana UMMU

_______

_“Pikiran yang kuat, tidak dibangun dalam semalam,_
_melainkan melalui proses panjang”_
(Aristoteles, Filsuf Yunani, 382 SM- 322 SM)

SETIAP mengakhiri semester (gazal maupun genap) di setiap lembaga pendidikan (formal), hal paling lumrah yang kerap dihadapi setiap peserta didik adalah tradisi ujian akhir semester. Tak hanya lembaga pendidikan formal, pada lembaga pendidikan non formal dan informal juga menerapkan hal yang sama.

Ujian semester merupakan sesuatu yang menegangkan sekaligus menyenangkan. Menegangkan karena dalam pikiran terkonstruksi kemampuan minimal dan berimplikasi pada hasil diperoleh, tidak maksimal. Bagi mereka yang serius, ujian semester akan mengukur sejauh mana kesungguhannya belajar selama beberapa bulan ke belakang.

Sementara ujian semester itu menyenangkan, karena bagi mahasiswa yang tidak serius kuliah, bahkan jarang kuliah dan hanya muncul saat ujian semester tiba, akan menganggap ujian sebagai jembatan untuk “berpindah” ke semester berikut, yang jika tak lulus, akan ditempuh dengan jalur semester pendek (SP), atau perbaikan nilai, tanpa bersusah payah berpikir, buat tugas, atau kuliah.

Ujian semester juga mempercepat segala urusan perkuliahan cepat selesai, tanpa harus berpikir panjang.

Ujian semester tentu bukan sekadar tradisi akademik belaka bagi sebuah lembaga pendidikan.

Ujian semester memang diperlukan untuk mengukur tingkat pengetahuan, kemampuan, dan tentu keterampilan seseorang dalam subjek keilmuan tertentu. Sebagaimana diungkapkan Henry Douglas Brown, dalam karyanya Language Assessment: Principles and Classroom Practices (2004) yang menyatakan, ujian bertujuan untuk menilai capaian belajar peserta didik, memberikan umpan balik, serta menentukan tingkat penguasaan materi.

Dengan tradisi ujian, terbentuk habitus baru bagi suatu lembaga pendidikan. Tidak hanya bagi mahasiswa tapi juga bagi pendidik (dosen) dalam memompa spirit erudisi mahasiswanya.

Ujian semester melatih dosen untuk memberikan soal ujian dengan penggunaan frasa dan diksi yang mampu menggugah, mengasah daya pikir mahasiswa. Ujian semester, bukanlah ajang untuk memberi “hukuman” kepada mahasiswa dengan mengajukan pertanyaan yang sulit, dan tidak memberikan daya pantik bagi nalar dan logika mahasiswa.

Bagi mahasiswa, ujian semester merupakan ajang untuk “berdialog” dengan dosen. Sejauh mana dosen mampu menjadi tumpuan memahami pengetahuan dan wawasan yang diberikan melalui soal-soal ujian.

Jadi, ujian semester adalah medium untuk meraih pengetahuan dan wawasan yang kemudian dapat membentuk perilaku literer sebagai warga akademik yang baik.

Ujian semester juga merupakan ruang yang harus diisi dengan ketekunan menenun serta menyulam cara belajar kembali, menggali ulang memori saat kuliah, sebagai proses erudisi.

Erudisi merupakan suatu proses pengetahuan yang diperoleh melalui belajar, penelitian, dialog, dan lain sebagainya.

Mereka yang senantiasa diuji, adalah mereka yang mau belajar menabalkan pengetahuan dan pemahamannya. Dan, pendidikan harusnya membentuk berbagai pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman itu.

Pemahaman mahasiswa memang harus ditumbuhkan secara bertahap, melalui ujian, yang menurut istilah Hans-Georg Gadamer (1900-2002) filsuf hermeneutik Jerman, adalah tahapan substilitas applicandi, suatu pemahaman pada tahap detail yang terpecah dapat diatur kembali, sehingga mencapai suatu konstruksi baru. Ujian kepada mahasiswa harus melatih kemampuan untuk mengkonstruksi kembali pemikirannya dari soal-soal yang diberikan.

Dengan soal-soal ujian yang mampu melatih nalar dan pengetahuan mahasiswa, diharapkan terbentuk pengalaman sosial yang dapat membentuk cara mahasiswa dalam memahami dunia dan menilai praktik budaya mereka.

Ujian semester merupakan proses mengasah, ruang “dialog”, dan membentuk pikiran mahasiswa dan dosen secara simultan.

Selamat menghadapi ujian semester untuk mahasiswa UMMU. Selamat belajar. (*)