Sang promovendus itu adalah Bahlil Lahadalia, saat ini menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI. Jika ada hal yang begitu istimewa dan memberi saya energi untuk menulisnya, maka itu tak lain, sisi menariknya sebagai sosok publik plus keistimewaan lain yang diulas karib Moksen tadi. Bang Ochen, sapaan akrab Moksen, mengungkap bahwa sidang doktoral ini meneguhkan Bahlil sebagai sosok langka yang terlengkapi dalam dirinya, empat kapasitas sekaligus: pengusaha, birokrat, politisi dan akademisi. Sebagai pengusaha dan pernah menjadi ketua umum HIPMI. Sebagai birokrat yang di periode Presiden Jokowi hingga saat ini, pernah dilantik dalam empat jabatan menterang dan tiga jabatannya berbeda. Sebagai politisi, tak ada yang menduga karirnya tiba-tiba melejit hingga menjadi ketua umum sebuah partai besar, Partai Golkar. Dan gelar doktor di ujian promosinya tadi, melengkapi kepasitasnya yang tak banyak dimiliki setiap orang dalam berkarir itu. Kalau dibilang melejit, sudah pasti karena semua itu diraih di rentang belum cukup lima tahun ini. Dan kalau dibilang juga bahwa ada sisi keberuntungan karena punya akses dan privilege tertentu dari pusat kekuasaan, mungkin bisa benar juga. Tetapi tentu tak mungkin meniru kasus yang pernah ada, seorang sarjana agama menjabat sebagai kepala Dinas Kesehatan, mengabaikan aspek teknis dan kompetensi.
Ketika datang berita di WAG Fordista KAHMI Maluku Utara tentang judul dan sedikit abstraksi disertasi yang nantinya dipertahankan dalam sidang, saya berkomentar pendek, ada kejujuran akademik. Ya, kejujuran akademik karena beliau dengan jujur menulis fakta, yang di saat sama, beliau sendiri yang karena kebijakan di kementerian yang pernah dipimpinnya, dan juga saat ini mengelola kebijakan itu, soal hilirisasi nikel.
Sisi ini, yang mungkin juga melengkapi sisi kontroversial seorang Bahlil, mengungkap “apa adanya” di zaman ketika segalanya sesuatu nyaris serba “ada apanya”. Jika karib Moksen tadi mengungkap bahwa Bahlil adalah sosok yang paling diburu media, karena memang otoritas yang jadi sumber berita dengan tipikal blak-blakan, memang sensasional dan menarik. Di samping sisi lain yang jadi konsumsi hingga perdebatan publik yang pernah ada.
Saya relatif tak punya kedekatan secara personal dengan sosok ini. Sekali saja, kebetulan personal. Itu diawal tahun 1998, saat saya mewakili Gubernur Maluku Utara menghadiri Musyawarah Daerah HIPMI Maluku Utara di Weda, Halmahera Tengah. Beliau datang sebagai Ketua Umum HIPMI Pusat. Bupati Edi Langkara juga hadir. Kami duduk bersebelahan di kursi depan. Jadilah forum Musda ini, juga sebagai ajang reuni KAHMI sekaligus KNPI dan AMPI dengan banyak pernak-pernik di masa lalu. Kebetulan sang Bupati ini pernah jadi ketua AMPI Maluku Utara dan di KNPI Halmahera Tengah, saya sekretarisnya. Di forum ini, sedikitnya saya mengenal sepintas sisi pribadi sosok promovendus ini. Terkesan kocak dan apa adanya. Istimewanya, itu asli dan bukan drama, bukan dibuat-buat. Di podium saat pidato, dia pernah mengungkap bahwa hanya organisasi HIPMI yang bisa dijamu presiden Jokowi di Istana Presiden dengan durasi yang sangat lama. Dan acara itu, presiden Jokowi sempat tertawa terpingkal-pingkal di sebelahnya karena aksinya mengocok perut. Persis diurai Bang Ochen tadi, ruang sidang ujian di kampus, apalagi level doktoral yang biasanya menegangkan dan terkesan “menakutkan”, disulap promovendus menjadi cair dan bersahabat. Bahkan hingga ada pernyataan kocak tentang konteks pendidikan tinggi di masa lalunya yang “tak tinggi”, bahwa kampus strata satunya di STIE Port Numbay di Jayapura tak terdetaksi Google.
Jika umumnya orang menyepakati bahwa kompetensi akademik, pengalaman dan rekam jejak karir, juga nasib baik, sering jadi pemantik prospek karir dan masa depan yang menterang maka sang promovendus ini melengkapinya, yang jarang ada pada sosok lain: keterampilan personal yang melekat karena sebab kelahiran, hal yang membuat presiden Jokowi, hingga terpingkal tadi. Harapan masyarakat di kawasan timur Indonesia pada sosok ini untuk menjadi the new rising star bagi Indonesia di masa depan, kata Bang Ochen tadi, tentu sesuatu yang realistik.
Keaslian memang sering sekali jadi berkah di mata orang yang senang hal-hal yang asli. Dan pencitraan, kepura-puraan, kadang tak berumur panjang, periodik. Istilah made in itu ada karena untuk pembedaan dan menegaskan keaslian. Papua memang terkenal dengan cerita mop-nya. Tapi ini bukan mop receh, asli dan doktoral. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan