Oleh: Anwar Husen

Kolomnis/Tinggal di Tidore

________
SEJUJURNYA, inspirasi ini datang di sore kemarin, saat saya sedang memangkas rumput di halaman kediaman, selang lebih dua jam saya membaca tulisan pendek karib kami di KAHMI, Moksen Idris Sirfefa, seorang intelektual muda Papua yang saat ini bermukim di Jakarta. Tulisannya di sebuah media online Papua berjudul “Doktor Cumlaude Anak Terminal”.

Memang urusan memperoleh gelar doktoral ini, sempat heboh beberapa waktu lalu. Ada aroma kurang enak yang berhembus kencang dari cara pihak tertentu memperolehnya hingga kampus yang tak cukup legal menyelenggarakan program itu. SBY bahkan sempat berkomentar di momentum ujian doktoral AHY bahwa hal itu ditempuh AHY secara normal tanpa cawe-cawe dari bapaknya.

Tulisan intelektual muda Papua ini, mengulas kisah sukses seorang anak muda Papua juga, yang baru saja mempertahankan disertasi doktoralnya disebuah Perguruan Tinggi paling kesohor di negeri ini, Universitas Indonesia, usai bersama kawan-kawan KAHMI menghadiri ujian promosi itu.

Karib Moksen mengurai detail judul disertasinya, tema kuncinya tentang hilirisasi nikel dengan sampel perusahaan pertambangan di Morowali dan Weda, Halmahera Tengah, para pengujinya yang ada juga dari Kyoto University, lama studi doktoral hingga durasi dalam sesi tanya jawab di ruang sidang promosi dengan disertasi setebal 502 halaman dan hasilnya cumlaude itu.

Meski saya tak menemukan detail kisah anak terminal yang tertulis di judul tulisannya, setidaknya bahwa sedikit liku-liku kisah hidup sang promovendus ini, bukanlah pengetahuan baru bagi rekan dan seniornya di KAHMI bahkan juga HIPMI. Di KAHMI sendiri, latar kehidupan masa lalunya yang memang bikin miris, promovendus ini juga dikenal sebagai sosok yang jadi patron bagi rekan dan adik-adiknya di Himpunan Mahasiswa Islam, disoal bagaimana menata karir sebagai seorang kader himpunan.

Banyak fakta yang tersaji betapa masa lalu yang susah itu, bisa mempengaruhi dan membentuk dua karakter berlawanan: pertama, melahirkan empati dan refleksi kala melihat orang susah karena pernah merasakan hidup susah. Dan kedua, melahirkan kekagetan hingga lupa diri karena baru merasakan kesenangan di waktu sekarang. Dan kesederhanaan yang terpotret dari sosok ini, tak mengesankan kekagetan apalagi lupa diri. Pendalaman hingga penghayatan nilai identitas selama di HMI, boleh jadi adalah salah satu fase yang turut menyusun bata demi bata dari bangunan karakter pribadinya.