Oleh: Anwar Husen

Kolomnis/Tinggal di Tidore

_______

SERINGKALI, kita memang perlu mengingatkan bahkan hingga perlu berulang kali. Padahal sesungguhnya, itu hal paling sepele atau bahkan telah menjadi kewajiban pihak lain, pemberi layanan. Sebut saja itu Pemerintah Daerah, misalnya. Seringkali pula, sesuatu itu kalau di alami berulang-ulang, di anggap seperti jadi biasa. Jika sesuatu itu bentuknya adalah keburukan yang seharusnya tidak perlu terjadi maka sama halnya kita memelihara kebodohan, sesuatu yang irasional dan merendahkan martabat diri.

Tiga malam lalu, karena ada sesuatu urusan, saya bersama seorang karib, dua kali bolak-balik berkendara rute pusat kota ke Rum, pelabuhan penyeberangan di Tidore ke Ternate. Cuaca sehabis hujan di tambah penerangan jalan yang relatif terbatas, di tambah pula kualitas kaca lampu depan mobil yang mulai memudar, saya mengalami turbulensi berulang kali. Ternyata bukan cuma pesawat terbang yang berpotensi mengalaminya, roda mobil terperosok lubang. Saya iseng menghitungnya, lebih 20 kali.

Saya begitu kesal. Omelan karib saya, juga melengkapi kekesalan kami di malam itu. Betapa tidak, ini jalan poros dan alternatif yang melingkari sebagian pulau ini, yang berjarak 20-an kilometer untuk bisa sampai di pintu masuk-keluar kota ini, sesuatu yang teramat penting untuk di jaga kualitasnya. Tak sekadar memastikan kenyamanan berkendara dan menghindari potensi lakalantas. Tetapi ini juga soal image daerah di mata orang yang datang berkunjung.

Kata-kata “kebutuhan dasar” itu, jangankan kita-kita, anak usia SD saja, mungkin telah paham seperti apa maksudnya. Kata-kata ini paling menterang kedengarannya jika menjelang Pemilihan Kepala Daerah. Semua orang, apalagi kampanye para Calon Kepala Daerah, materinya pasti tentang kebutuhan dasar. Yang di sasar pertama oleh para calon tadi, pasti sisi ini, karena dia menjadi kebutuhan paling elementer dari setiap warga, yang punya hak memilih pemimpin di wilayahnya. Yang di sebut kebutuhan dasar itu umumnya menunjuk fasilitas pendidikan, kesehatan dan akses jalan atau transportasi. Orang butuh cerdas dan pintar, sebagaimana dia perlu sehat, sesungguhnya untuk memaksimalkan potensi kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia. Agar ada kesadaran eksistensial. Itu hakikatnya. Setelah terpenuhinya kebutuhan derajat pendidikan dan kesehatan yang semestinya, orang perlu ada aktifitas ekonomi untuk bertahan hidup, karena mati di sebabkan kelaparan itu hina. Peribahasa, ayam mati di lumbung padi, itu kritik sekaligus renungan untuk para pemimpin. Juga aktifitas penunjang lainnya berupa kebutuhan untuk bersosialisasi memaksimalkan potensi kemakhlukan, dan lain-lain. Itu antara lain sederet kebutuhan dasar dan alasannya.

Umumnya, Rumah Sakit dan Puskesmas hanya di akses oleh orang sakit dan sedikit orang sehat, yang sekedar mengecek kesehatannya. Sekolah hanya di akses oleh anak usia sekolah. Tak mungkin seorang kakek berusia 60 hingga 70 tahun mau bersekolah.

Tetapi semua orang sehat hingga yang sakit, semua orang berpendidikan dan cerdas hingga yang kurang berpendidikan, butuh sarana dan akses transportasi yang memadai karena mereka juga punya kebutuhan ekonomi untuk bisa bertahan hidup. Pasien yang sedang kritis bisa saja menemui ajalnya di sebabkan sarana transportasi jalan yang jelek. Demikian pula, orang yang sehat bisa saja tiba-tiba jadi sakit. Seorang guru yang menuju tempat tugasnya, bisa hilang konsentrasinya memberi bekal ilmu ke anak didik di sekolah hingga kehabisan energi di jalanan, di sebabkan kualitas sarana jalan yang buruk. Orang pandai, berpotensi jadi “bodoh”, bodoh yang disengaja.