“Kesaksian palsu itu bersifat fitnah atas diri saya (Terdakwa Bas Suebu) dan mencemarkan nama baik serta kehormatan saya,“ kata Terdakwa saat menanggapi surat dakwaan Jaksa pada KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta (detiknews: 2015).
Tidak ada fakta yang mengungkap bahwa Terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan, turut serta (deelneming), membantu, atau berbarengan (samenloop, concursus) melakukan rasuah, dengan memperkaya diri, orang lain, atau korporasi. Karena perbuatan melawan hukum (unlawful act) merupakan unsur paling pokok dalam tindak pidana yang mencakup adanya kesalahan, yang terjadi karena kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpue), sebagaimana dirumuskan oleh ahli hukum Jerman, Paul Johann Anselm Ritter Von Feuerbach (1775-1833) sebagai peletak dasar asas legalitas yang dikenal dalam maksim nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali ada aturan pidana atau peraturan perundangan-undangan yang telah mengaturnya).
Asas tersebut telah dinormakan dalam hukum positif (ius scripta) sebagai bentuk asas legalitas yang dianuat Indonesia, yakni Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Juga diingat kembali filosofi keadilan ubi jus incertum, ibi jus nullum (di mana tidak ada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum). Bahkan dalam kasus pidana berlaku juga asas nulla poena sine culpa atau geen straf zonder schuld, yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam kasus ini tidak dimunculkan adanya unsur actus reus (perbuatan) dan mens rea (niat) dari Terdakwa dalam melakukan tindak pidana korupsi.
Hal ini berangkat dari surat dakwaan penuntut umum maupun vonis hakim terhadap Terdakwa yang tidak memiliki bukti yang kuat dan meyakinkan, sebagaimana terungkap dalam persidangan. Padahal, dakwaan adalah mahkota persidangan dan pembuktian (berwijsvoering) merupakan jantung dari persidangan,yang diabaikan oleh penuntut umum dan hakim dalam mendakwa, menuntut, dan memutus perkara korupsi Bas. Jaksa selaku pemilik dominus litis (pengendali perkara) tidak mampu menunjukkan bukti permulaan yang cukup sebagai syarat formil sekaligus menjadi pintu masuk untuk dijadikan Bas sebagai tersangka kasus korupsi, seturut asas actori incumbit onus probandi (siapa yang mendakwa/menuntut, dialah yang wajib membuktikannya) atau dalam perpektif hukum perdata dikenal asas affirmati incumbit probate (siapa mendalilkan sesuatu, wajib membuktikannya). Surat dakwaan menjadi unsur terpenting karena memuat unsur locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana), tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana), dan corpus delicti (alat atau barang bukti dari suatu tindak pidana), sekaligus menentukan intellectual dader (pelaku) atau medepleger (orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula ia turut beraksi dalam melaksanakan perbuatan pidana sesuai dengan yang telah disepakati).
Bahkan, setiap putusan hakim mengacu pada dakwaan dan bukti yang terungkap dalam persidangan, termasuk keyakinan hakim sebagaimana bunyi asas judex debet judicare secundum allegate et probate, yang berarti hakim harus memberikan keputusan berdasarkan dakwaan dan bukti-buktinya. Selanjutnya dalam Pasal 183 KUHAP secara expressive verbis menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Maka, terdakwalah yang berkewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan pidannya, yang selaras dengan adagium culpue poena par esto/let the punishment be equal the crime (jatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya) atau ut sementem faceris ita metes (siapa yang menanam sesuatu dialah yang memetik hasilnya).
Tidak mungkin menegakkan hukum materil tanpa terpenuhinya syarat formil. Pendek kata, hukum formil menjadi syarat tegaknya hukum materil. Jika tidak ada dua alat bukti permulaan yang cukup sebagai syarat formil dalam proses hukum pidana, secara otomatis hukum materil tidak terlaksana. sejumlah alat bukti yang dihadirkan jaksa di persidangan, baik saksi mahkota atau saksi memberatkan (saksi fakta) dan alat bukti lain yang harus relevan dan saling bersesuaian. Meski banyak saksi yang dihadirkan oleh jaksa, tetapi keterangannya tidak berkualitas: tidak menjelasan secara detail apa peran, di mana, kapan terjadinya praduga tindak pidana korupsi? Keterangan saksi juga harus didukung oleh alat bukti lain yang cukup valid dan sahih, dengan kualitas pembuktiannya yang tak terbantahkan (tidak adak keraguan sama sekali), di situlah calon tersangka bisa dapat diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana korupsi dan ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. Tanpa dukungan alat bukti permulaan lain yang cukup dan tidak bersesuaian dengan keterangan saksi, maka tidak ada gunanya keterangan saksi, hingga Terdakwa harus dihentikan dari kasusnyadi tingkat penyelidikan dan penyidikan, baik itu melalui proses praperadilan atau dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Juga atas kekuasaan dan kewenangan yang amat vital dan strategis yang dimiliki jaksa dalam menjaga keadilan dan merawat keberlanjutan hukum dalam sistem peradilan pidana, mulai dari tahap penyidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan, yang diakui selaku pemilik dominus litis (pengendali perkara), bisa melaksanakan kebijakan hukum berupa keadilan restoratif (restorative justice). Hal tersebut sesuai dengan Paraturan Kejaksaan Agung RI No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif . Artinya, mekanisme penyelesaikan perkara tidak mengedepankan pemindanaan, melihkan keadaan korban atau pemulihan pada kondisi semula (restitutio ad/in integrum). Jelas sekali jaksa tidak menguasai anatomi perkara, hingga konstruksi kasus dalam surat dakwaan pun semrawut, sumir, dan jauh dari fakta yang sebenarnya. Padahal jaksa dituntut untuk memiliki kapabilitas yang mempuni, integritas, dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya. Jaksa harus mempunyai kemampuan teknis maupun yuridis, sehingga dalam penanganan perkara, jaksa senantiasa menguasi anatomi perkara, memahami normatif yuridis, mencermati aspek sosial terdakwa (pelaku), korban, dan masyarakat. Serta mempertimbangkan syarat subjektif tentang perlu atau tidaknya melakukan penahan, tanpa harus berkutat dan terkungkung dengan prinsip legalitas formal yang tidak perlu dan melahirkan diorientasi penegakan hukum yang jauh dari aspek keadilan (Bambang Soesatyo: 2024).
Maka, tidak dapat dibenarkan jaksa maupun hakim menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakuan perbuatan melawan hukum, yakni korupsi dengan unsur “memperkaya” dan “menguntungkan” diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Jaksa dan hakim harus berani berkata jujur dan membuktikan letak kesalahan Terdakwa yang bisa dibenarkan secara hukum serta diakui nalar publik, karena pengakuan itu datang ketika ada pembuktian. Maka, atas fakta-fakta yang lemah dan janggal seperti ini, seharusnya hakim Tipikor Jakarta Pusat yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara Terdakwa menerima eksepsi Terdakwa dan menolak atau setidak-tidaknya menyatakan tidak menerima surat dakwaan tersebut dan menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum. Karena dakwaan yang kabur (obscuur libel) sebagaimana termaktub dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP.
Ini selaras dengan asas van rechtswege nieting null and void (suatu proses peradilan yang dilakukan tidak menurut hukum adalah batal demi hukum) dan asas actore non probate, reus absolvitur (jika tidak dapat dibuktikan, terdakwa harus dibebaskan). Singkatnya, penuntut umum tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa (actore non probate), terdakwa harus diputus bebas (reus absolvitur).
Juga tidak ada aspek keadilan dan kemanfaatan dari proses hukum Terdakwa bagi masyarakat, hingga hakim harus mempertimbangan ini secara baik demi telaksananya due procces of law (proses hukum yang benar) dan dihormatinya hak asasi Terdakwa. Mengacu pada prinsip kebebasan atau indepedensi hakim yang yang didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman di Indinesia, hakim harus menerapkan hukum yang bersumber pada peraturan perundang-undangan secara tepat, menafsirkan hukum dengan benar, sebagai wujud kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (recht vinding). Hakim harus membuktikan kepada publik bahwa dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sangat dekat dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal tersebut merupakan kewenagan hakim dalam melakukan konstruksi hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 mengatakan, Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Karena tujuan tertinggi hukum adalah melaksanakan keadilan. Mengutip Immanuel Kant, filsuf Jerman sekitar 200 tahun lalu mengatakan, “…summum ius summa injuria, summa lex summa crux” (kepastian hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan yang terbesar), karena itu, menunda-nunda keadilan (atau keadilan yang datang terlambat) sama dengan tidak ada keadilan atau menolak keadilan itu sendiri (justice delayed is justice denied), demikian kata William Glastone (1809-1898), mantan Perdana Menteri Britania Raya. Kasus Bas dinilai penuh dengan kejanggalan, karena kaburnya surat dakwaan dan terjadi kegamangan atau skeptisisme dari hakim dalam memutus perkara tersebut, hingga dapat merugikan hak konstitusional dan hak asasi Terdakwa sebagai warga negara yang wajib diproteksi, dihormati, dan dipenuhi oleh siapa pun, termasuk penegak hukum maupun negara sebagai wujud perlakuan yang sama di depan hukum (the equlity before the law).
Hak-hak Terdakwa sudah dijamin oleh berbagai intrumen hukum internasional maupun hukum positif, seperti Deklarasi Universal HAM PBB 10 Desember 948, Pasal 10 mengatakan, “Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapakan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya”. Juga dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatakan, “Setiap orag berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”. Hak asasi manusia menurut pamfleter dan intelektual Britania Raya, Thomas Paine, adalah jalan keluar untuk mengatasi kesewenang-wenangan atau keadaan yang oleh aforisme Thomas Hobbes, homo homini lupus est, bellum omnium contra omnes, manusia yang satu jadi serigala bagi manusia lain, perang semua melawan semua. Maka seharusnya Terdakwa dibebaskan demi hukum seperti ditegaskan dalam asas in dubio pro reo/exceptio format regulam (jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, hakim harus menjatuhkan hukuman yang meringankan terdakwa). Hakim adalah hukum yang berbicara (judex set lex laguens).
Tinggalkan Balasan