Di daerah ini yang tipe rumah sakitnya belum di level tertentu yang punya tenaga psikiater, kami pernah mendatangkan psikiater hebat di saat itu, berpuluh tahun lalu, mendiang dokter Polen Reo, dari Manado ke rumah kediaman orang tua kami untuk mempelajari sakitnya, dalam sebuah kunjungan visitasi untuk penyakit psikis ke beberapa rumah sakit daerah di beberapa kabupaten di Maluku Utara.

Tak sampai di situ, kurang lebih enam bulan menjalani pengobatan di Manado hingga tinggal bersama di kediaman sang dokter yang merawatnya. Semua itu gara-gara pangkal ujiannya, penyakit mag akut. Sampai di sini, saya harus mengenang kebaikan amal baiknya sang dokter itu, Faruk Bachmid. Semoga Allah SWT memberinya sebaik-baiknya tempat di sisi-Nya.

Mengenang ini, ada penanda lain yang menyertainya. Mungkin satu-satunya kesempatan dalam sisa hidup ini, saya pernah ketiban nikmat Tuhan ketika harus rutin menjenguknya setiap pekan dari rutinitas sebagai seorang apararur sipil negara. Dalam rentang sekitar enam bulan tadi, saya sempat menikmati penerbangan promo Ternate-Manado PP dari maskapai Sriwijaya Air, di awal tahun 2010, ketika membuka rute ini. Tak kurang 29 kali PP, nikmat Tuhan dari penerbangan bertarif 200 hingga 250 ribu rupiah ini, begitu menolong saya dan keluarga kami.

Terkadang memang, kesembuhan itu, porsi terbesar yang memberi peran bagi sesuatu penyakit, ada pada pikiran kita, pada mindset kita, pada cara kita memandangnya. Optimisme memandang hidup, kadang menjadi energi maha dahsyat yang memberi kekuatan jiwa melawan penyakit, seakut apapun itu. Banyak deretan kasus yang bisa menjelaskan ini. Tetapi saya punya satu contoh kasus, yang sering jadi bahan ajar semasa menjadi guru SMA dulu, untuk memberi semangat dan motivasi hidup kepada siswa-siswa di kelas: seorang siswa perempuan yang parasnya begitu cantik saat itu di kelas lll, bisa dibilang “bunga SMA” saat itu. Dia harus bersikeras untuk mengikuti ujian akhir sekolah, dengan dibantu kursi roda dan dalam kondisi fisik yang begitu jauh berubah karena kerontokan rambutnya yang nyaris habis dan putih bersih kulitnya dulu, yang mulai berbintik hitam. Mungkin karena efek terapi bagi pengobatannya. Siswa itu, akhirnya sehat dan dan telah berkeluarga. Wiwin Togubu, saya sengaja menyebut namanya untuk bisa menjadi contoh sekaligus pelajaran bagaimana sebuah penyakit bisa didekati dengan mindset, optimisme memandang hidup hingga doa yang terus-menerus dipanjatkan. Ini salah satu pelajaran kehidupan yang saya simpan rapi di memori saya hingga saat ini.

Nurlaela, saudara kami ini, mungkin tak “seberuntung” Wiwin, siswa saya di SMA tadi meski kedua pemilik paras cantik, dalam pandangan kita. Tetapi juga, Nurlaela memberi kami banyak pelajaran kehidupan tentang arti kesabaran, kepasrahan dan doa. Dalam hitungan jam menjelang akhir hayatnya, dia masih membisikkan dengan suara yang nyaris begitu lemah pada saudara bungsunya bahwa dia ingin sehat untuk bisa salat lagi. Kata-kata yang kadang bikin remuk kala mengenangnya.

Di jelang akhir hayatnya, dia tak membebani kami. Cukup hanya pesan WhatsApp untuk menjemputnya dari kesendiriannya di kediaman orang tua di kelurahan sebelah, ke kediaman saudara bungsu kami, karena dia merasa kurang enak badan. Berbeda dengan “kurang enak badan” sebelum-sebelumnya yang hanya bisa diatasi dengan Paracetamol dan obat ringan lainnya, kali ini dia minta dijemput “pindah alamat”.

Tak selang lama, tak cukup seminggu. Tak ada yang membebani dan begitu cepat berlalu, Nurlaela Husen menghembuskan nafas terakhirnya nyaris seperti biasanya dia tertidur, sebelumnya ditutupi dengan doanya sendiri, terlihat dari dua tangannya yang dipaksanya mengangkat meski dengan susah payah dan kaku. Sabtu, 23 Maret 2024, bertepatan 13 Ramadan 1445 Hijriah, menjelang Isya, adalah waktu yang ditentukan untuknya, di jelang usia 53 tahun.