Oleh: Anwar Husen

Kolomnis/Tinggal di Tidore

_______

SEKECIL dan sesederhana apapun itu, setiap peristiwa atau kejadian yang terlintas hingga dialami, selalu saja menghamparkan pesan hikmah bagi setiap kita. Hingga terlepas dan jatuhnya sehelai daun dari tangkainya pun, menyisakan pesan Tuhan dan makna hidup yang mendalam.

Juga, kabar hingga fakta baik dan buruk selalu menjadi dua sisi mata uang, datang silih berganti. Pun, yang telah kita sadari, setiap orang punya ketentuan “takdir diri” yang berbeda, ketika itu dimaknai oleh setiap kita. Tetapi tidak bagi pemilik takdir itu.

Yang telah umum kita saksikan, dalam struktur sebuah keluarga, di deretan anak-anak, banyak fakta “keberuntungan” yang tak terbagi merata. Anak sulung sering mendapatkan “privilege” lebih dalam banyak hal, akses terhadap pendidikan yang tinggi misalnya, yang kelak bisa mengubah hidupnya. Tetapi belum tentu bagi anak-anak lainnya. Dalam situasi yang “timpang” lainnya, di deretan anak-anak yang terlahir kembaran sekalipun, kondisi ini bisa terjadi.

Entah dalam sudut pandang teori ekonomi dan perspektif kemiskinan struktural seperti apa. Tetapi akses terhadap kesempatan dan sumber daya yang cukup, kadang menjadi pemicu utama membangun akses terhadap masa depan dan ketahanan ekonomi yang kuat. Dalam kasus lainnya, akses terhadap harta warisan misalnya. Islam mengatur khusus tentang hukum kewarisan Faraid ini yang dipandang adil, dengan alasan-alasan yang sangat logis terutama soal tanggung jawab berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan misalnya.

Saya belum lama mendapatkan informasi dari teman bahwa kembaran dari seorang yang pernah menjadi kepala daerah adalah seorang kuli bangunan. Di lingkaran keluarga saya, kembaran seorang direktur sebuah perusahaan pengadaan barang/jasa yang tergolong sukses untuk ukuran anak muda adalah seorang kuli bangunan pula. Belum lagi di contoh dan deretan fakta lainnya. Apalagi bagi kakak beradik yang bukan terlahir kembaran, tentu lebih banyak lagi “ketimpangannya”.

Di deretan kakak beradik dalam keluarga kami, dia relatif bernasib “kurang beruntung”, meski sebagai sebagai saudara perempuan kedua, setelah kakaknya Ida, lebih dulu berpulang di usia selepas SMA, dari empat bersaudara yang tersisa, tiga perempuan dan saya sendiri laki-laki sulung dan satu-satunya. Kesaksian di lingkungan keluarga kami, dia memiliki paras yang cantik dibanding saudara-saudara perempuannya, di masa mudanya dulu.

Namanya Nurlaela, nama kecilnya Ade. Nyaris menghabiskan seperdua usianya dengan bertaruh kesabaran atas ujian sakit dari sang pemilik batas usia biologis. Mag akut yang dideritanya tak lama selepas SMA, bisa dibilang jadi sebab utama mengubah segalanya dalam hidupnya. Tak terhitung upaya dan perjuangan keluarga membebaskannya dari kesulitan hidup yang tiada tara ini, sejak tiga puluhan tahun lalu. Di puncak penderitaannya yang hebat, mengubah psikis dan kejiwaannya menjadi sosok yang mudah tersinggung dan senang menyendiri. Kami mengiyakan keinginannya untuk “menyendiri” di kediaman orang tua, dengan memperhatikan segala kebutuhan dan maunya, sekuat yang bisa diupayakan. Meski kadang, sebagai manusia biasa, kami juga merasa “lelah”.