Oleh: Asghar Saleh

_______

KEMENANGAN back to back Indonesia atas Vietnam di Jakarta dan Hanoi langsung memberi dampak yang signifikan terhadap kebangkitan sepak bola Indonesia. Optimisme ini muncul mengingat sudah 20 tahun Indonesia tak pernah menang di My Dinh Stadion. Laga terakhir yang dimenangkan Garuda terjadi Desember 2004 kala gol dari Mauly Lessy, Ilham Jaya Kusuma dan Boaz Salossa mempermalukan tuan rumah. Usai Piala Tiger tahun itu, sepak bola kita mengalami kemunduran. Sedangkan Vietnam berbenah dan makin sulit dikalahkan di kawasan Asia Tenggara.

Namun semuanya berubah setelah game ke 4 di Hanoi. Indonesia membungkam Vietnam lewat gol Jay Idzes, Ragnar Oratmangoen dan Ramadhan Sananta. Kita kini berada dalam pole position yang tepat untuk berburu jatah lolos dari grup F kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Dengan dua laga tersisa di Stadion Gelora Bung Karno – melawan Irak 6 Juni dan Filipina 11 Juni – satu saja kemenangan memastikan kita jadi runner up grup. Ini berarti kita tak sekadar lolos ke putaran ketiga kualifikasi zona Asia tetapi juga memastikan satu tempat di Piala Asia 2027 yang akan mentas di Saudi Arabia.

Prestasi ini jelas membanggakan. Kita akan bikin rekor lolos Piala Asia dua edisi berurutan – 2023 dan 2027. Asa untuk bersaing di level Asia bukan lagi ilusi. Kita juga berpeluang ke Piala Dunia mengingat ada 8+setengah tiket yang akan diperebutkan oleh 18 negara. Apa bisa? Mari lihat beberapa fakta menarik selama Garuda dilatih Shin Tae-yong. Aspek pertama yang berubah adalah mentalitas. Tak ada lagi sikap inferior atau “takut kalah” sebelum bermain. Pemain Timnas tak mudah terprovokasi tim lawan. Tak mudah didikte lawan.

Game plan berjalan layaknya tim Eropa dengan penguasaan bola yang dominan, build up dilakukan dengan sabar. Transisi dari positif ke negatif dan sebaliknya berjalan mulus. Control-passing yang jadi elemen dasar sepak bola dilakukan dengan baik. Tak ada lagi kesalahan elementer disertai kepanikan saat tertekan lawan. Kita juga punya tim nasional dengan rataan usia pemain yang terbilang muda. Artinya masa depan timnas terbilang cerah.

Tapi harus diakui jika konsistensi permainan timnas yang meningkat dipengaruhi oleh bergabungnya pemain-pemain dari Liga Eropa. Kebijakan PSSI melakukan naturalisasi berdampak signifikan pada permainan tim nasional. Dalam dua leg melawan Vietnam, kontribusi pemain hasil naturalisasi sangat besar. Untuk jangka pendek, bisa jadi ini langkah solutif yang tepat untuk mendongkrak prestasi Indonesia. Tetapi bagaimana dengan aspek keberlanjutan mengingat setengah dari pemain naturalisasi tak lagi muda? Apakah selamanya kita akan terus melakukan naturalisasi saban tahun?

Shin Tae-yong yang sukses membawa Indonesia lolos ke babak 16 besar Piala Asia awal tahun ini telah memberikan “warning”. Jika ingin prestasi tim nasional terus berlanjut – “benahi dulu kompetisinya”. Benahi – sesuatu yang berkaitan dengan mengatur ulang, memperbaiki semua dan bertujuan untuk mengubah menjadi lebih baik – menurut saya memiliki dua elemen penting. Pertama ; tata kelola kompetisi yang berhubungan dengan regulasi, jadwal, kesiapan infrastruktur pendukung seperti stadion dan yang tak kalah penting adalah sumber daya perangkat pertandingan. Rencana penggunaan VAR adalah sebuah langkah cerdas.

Yang kedua ; peningkatan kualitas pemain yang bermain di kompetisi dalam negeri, kapasitas pelatih dan modul pembinaan sepak bola yang berjenjang dan bermuara pada kebutuhan tim nasional. Sepak bola adalah proses berkelanjutan yang dimulai dari usia dini. Jenner, Hubner, Struick adalah beberapa contoh jika peran akademi usia muda tak hanya mengasah skill bola semata tetapi juga aspek mental, disiplin, attitude, bagaimana memahami taktikal dan tentunya asupan gizi.