Oleh: Indra Abidin, S.Pd.,M.Pd

Akademisi Universitas Bumi Hijrah (Unibrah) Tidore; Penulis Buku Pendidikan Luar Sekolah; Sekretaris Bidang Pembinaan Mahasiswa DPD KNPI Provinsi Maluku Utara

_______
GELOMBANG respon masyarakat seputar guru dan intimidasi jelang Pemilihan Umum (Pemilu) kian tinggi. Reader-nya banyak, termasuk saya. Bagi saya sangatlah penting. Penting dijadikan catatan di tengah proses dan semangat membangun di sektor pendidikan. Misalnya soal guru, mulai dari upah honorer yang “horor” – berbulan-bulan tertunda pembayarannya. Jika dirunut tentu panjang ya. Belum lagi, membahas seputar langkah-langkah adaptasi dan penyesuaian perubahan kebijakannya.

Namun, ada yang meluas; perlu dikemukakan. Hal ini berkaitan dengan guru dan intimidasi jelang Pemilu. Oleh karena itu, saya anggap pas dengan judul yang dipilih. Satu lagi, soal school performance—yang membutuhkan perhatian serius dan pendampingan secara berkelanjutan karena memiliki kaitan dengan semua unsur di masyarakat.

​Termasuk soal otonomi daerah. Apalagi berhubungan dengan sekolah yang baru didirikan. Harapannya, dukungan mengalir untuk keberlanjutan pemindahan kebudayaan ke generasi selanjutnya berjalan tanpa kendala. Berarti bahwa apapun yang dihadapi guru tidak dapat dipandang sebagai hal sepele. Perlu diteruskan tentang intimidasi. Kata, ‘intimidasi’ secara kebahasaan diartikan sebagai tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan dan ancaman.

Mengangkat, dan mengulas kembali pandangan sebelumnya sangat penting untuk mempertegas bahwa hal ini penting dan dibutuhkan. Tahun kemarin, ada catatan menarik dari Hafid Abbas, bertajuk, Rapot Merah Pendidikan—Kompas (20/01/2020), ‘Dengan otonomi daerah, bupati/wali kota terpilih dengan bebas menempatkan orang-orang dekatnya yang telah dinilai berjasa atas kemenangannya di pilkada untuk mengisi semua pos pendidikan.’

Ia melanjutkan, ‘Ada daerah yang mempromosikan seseorang yang mengurus urusan pasar ke urusan pendidikan, ada pula yang berasal dari urusan pemakaman ke dinas pendidikan.’ Hal ini tidak memerlukan interprestasi, karena itu perlu disampaikan secara langsung. Lainnya datang dari Tri Pujiati, Jawa Pos (07/12/2023), ‘Pertama, dalam konteks otonomi daerah, guru lebih mudah dipengaruhi oleh kebijakan birokrasi. Kebijakan ini biasanya melewati tangan-tangan tersembunyi seperti dinas pendidikan terkait.’

Tri menambahkan, ‘guru biasanya diintimidasi jika tidak mendukung salah satu paslon. Bentuk intimidasi bermacam-macam, mulai kehilangan pekerjaan sebagai pendidik, dimutasi ke daerah terpencil, dan sebagainya. Kedua, guru merupakan salah satu urat nadi dalam mendekatkan diri kepada masyarakat.’ Cukup mewakili atas apa yang dikemukakan Hafid dan Tri tentang otonomi daerah dihubungkan dengan guru dan Pemilu. Apalagi dilengkapi dengan intimidasi.