Jadi, dapat dibayangkan, dari rempah, lalu melahirkan sistem produksi pada pangan dan tradisi kuliner, hingga menghasilkan selera. Pada selera itulah, konflik menguar pada sejarah rempah yang dihiasi dengan perdagangan, peperangan dan darah. Perempuanlah yang menentukan selera melalui rempah dan pangan.
Di balik sikap kelembutan dan kelemahan, ternyata perempuan juga menunjukkan sikap perlawanan (resistance), beriringan dengan ketangguhan (resilience) dan kebangkitan (resurgence) secara kolektif dengan komponen masyarakat lain. Dari dapur, rempah dan pangan, kaum perempuan memperlihatkan bahwa tak selamanya mereka identik dengan ketertindasan, kelemahan, dan stereotype miring lainnya. Di balik kelembutan perempuan yang memancar dari asap dapur, aroma rempah, dan pada pangan yang tersaji, terpancar kekuatan yang tidak kita sadari. (*)
Tinggalkan Balasan