Jadilah kemudian perempuan didomestikasi mengurus wilayah rumah (dapur) diimbangi dengan kuatnya media tontonan yang setiap saat diproduksi. Media tontonan pun menjadi hiburan bagi kaum perempuan, yang secara tak langsung mengikis daya kritisnya. Orientasi perempuan pun terbatasi. Dapur dan rempah pun menjadi teks yang kadang redup di ruang publik.

Teks tentang perempuan yang kerap diidentikkan dengan ketertindasan struktur dan konstruk budaya itu dapat dilihat pada pasar. Penempatan perempuan (ibu-ibu) pemanfaatan lokasi pasar amat tidak berimbang. Perempuan penjual sayur-sayuran dan rempah hanyalah bagian kecil dari teks besar atas perempuan. Mereka menjual sayur-sayuran dan rempah, sesuatu yang memang dari segi pemasukan tidaklah besar, dan mungkin di anggap kecil. Mereka mengumpulkan receh demi receh untuk menopang kebutuhan keluarga, Tetapi, apa yang dilakukan kaum perempuan, adalah mengolah sesuatu yang besar, yang berkaitan dengan menjual hasil alam, mengolah produksi, yang menjadi bahan baku dapur. Sejalan dengan ini, Eric Wolf mengungkapkan : “…kehidupan sosial dibentuk oleh cara manusia mengolah alam melalui produksi” (Wolf, 2010 : 86). Apa yang dilakukan kaum perempuan adalah memastikan apa yang diberikan alam tetap terolah untuk kebaikan dan kehidupan sosial.

Simbol Budaya

Kaum perempaun telah berani melewati “rintangan sakralitas dapur” yang selama ini membungkam kekritisan mereka. Mereka keluar dari teks, menerobos konteks yang ada. Mereka menjual hasil bumi, di luar dapur. Menjual, harusnya diserahkan pada pembagian kerja yang telah menjadi komitmen. Tetapi mereka “meninggalkan” dapur, menuju pasar menjual rempah, menjual bahan pangan. Benar apa yang ditulis Dorothy Smith, bahwa perempuan memahami dunia sebagai sebuah kesadaran yang mendua (bifurcation of conciousness), yang terjadi karena ada kehidupan di mana tubuh dan ruang yang diperankan kaum lelaki dan kaum perempuan ternyata berbeda (Smith, 1990 : 18).

Secara tradisional, seharusnya berjualan sayur dan rempah berlangsung di tingkat rumah tangga dan juga pada warung. Tetapi kaum perempuan, memiliki kekuatan untuk “menyeret” berjualan sayur dan rempah tidak hanya ke warung tetapi ke pasar. Menurut Jeremy Wallach, warung dan pasar merupakan dua aspek penting ekonomi informal Indonesia (Wallach, 2008) yang digerakkan kaum perempuan.

Rempah, pangan, dan dapur merupakan hubungan simbolis, yang hingga hari ini secara tersirat menampakkan simbol budaya sekaligus konsumsi. Simbolis di sini terkait dengan proses ekonomi dan politik yang mengubah masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia. Analisis simbol budaya rempah dan pangan dapat memberikan pemahaman tentang proses tersebut. Rempah disajikan dalam bentuk pangan untuk menjembatani interaksi sosial antarindividu dan dalam lingkup keluarga, komunitas, antar-hierarki kelas, antara lelaki dan perempuan, dan memiliki fungsi seksual. Mulai dari rempah, entah lada, pala, kayu manis, cengkih, dan lain-lain hingga terbentuknya dapur, pencampuran dua unsur : rempah dan pangan adalah proses dinamis untuk menciptakan, memelihara, dan mereproduksi aktivitas, makna, dan representasi simbolis, yang kemudian melahirkan tradisi kuliner. Karena itu, ketika perempuan menghidangkan makanan dari dapur, sangat tergantung pada kondisi alam tempat ia hidup dan adat istiadat masyarakat tempatan.