Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
Sekretaris ICMI Orwil Maluku Utara
_______
“Berilah sejumput rempah pada makanan sebagai pemantik selera,
dan biarkan cinta itu menyesap jauh ke relung jiwa, menguar pada hasrat”
(Herman Oesman, 29 Juni 2023)
TATKALA membincangkan, mendiskusikan, bahkan mempertentangkan “eksistensi” dapur secara harfiah, konstruksi pikiran dan persepsi yang bermain dalam kepala: dapur urusan kaum perempuan. Tak lebih dari itu. Perempuan memiliki otoritas mengurusinya. Lalu, perempuan dalam imajinari itu pun didomestikasi, dibelenggu dalam struktur sosial budaya. Tapi, nyatanya, dapur tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dapur menyimpan seluruh inti persoalan keluarga. Dapur merupakan tonggak kekuatan perempuan. Dapur adalah titik jumpa rempah dan pangan yang menggoyahkan dunia.
Di dapur bertaut rempah dan pangan, lalu hadir sistem produksi di sana. Soal rempah sebagai komoditas, dalam catatan sejarah apapun, kerap bersinggungan dengan perebutan, kekerasan, peperangan, perdagangan, intrik, tipu menipu, kontestasi, dan sebagainya. Ia menjadi simbol antara produksi dan konsumsi. Lalu dikomodifikasi. Rempah pun menjadi nilai tukar dan incaran negara-negara penghamba akumulasi kapital. Jack Turner dalam karyanya Sejarah Rempah menulis : “…rempah adalah katalis penemuan dan secara tidak langsung ,,,merekonstruksi ulang dunia...” (Turner, 2011 : xvi). Soal lain, rempah juga menjadi kegilaan kaum lelaki. Acapkali rempah-rempah disandingkan dengan peningkatan vitalitas pria. Bahkan rempah juga ikut bertaut dengan perempuan dan romantisme. Tentang hal ini, dapat disimak dalam karya Turner tersebut (hlm. 191-233). Sebagai komoditas, rempah pun semakin seksi hingga hari ini.
Selanjutnya, Toeti Heraty dalam Rainha Boki Raja mencatat : “Portugis mengawali imperium rempah-rempah dengan darah, yang akan berlangsung berabad-abad seterusnya memperlakukan penduduk setempat dan raja atau zomorin di Kalkuta dengan merendahkan martabat, mereka dianggap seperti suku-suku yang mereka temui di Pantai Afrika, barang-barang tidak berharga hendak ditukarkan begitu saja dengan merica, tapi di Malabar telah canggih minta dibayar dengan emas, perak, logam berharga…” (Heraty, 2010:34)
Teks Atas Perempuan
Dapur, rempah, dan pangan kemudian ditautkan dan dikonstruksi masyarakat dengan memberi ruang ekspresif kepada perempuan untuk hadir memberi sentuhan eksotik, estetis, dan fungsional. Walaupun di kemudian hari, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan kapitalisme pasar, persoalan dapur dan rempah lalu bergeser, tidak hanya kaum perempuan, tetapi juga menjadi perhatian kaum lelaki.
Membaca perempuan dalam konsep kekuasaan, akan ditemukan rangkaian konstruksi relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang dominan dikitari dengan ketidaksetaraan yang berjalan secara konstan. Hal yang sama juga pada konsep dapur dan rempah yang lebih merupakan representasi kaum perempuan, tertanam dalam alam pikiran masyarakat. Padahal, tanpa dapur dan tanpa rempah, tak ada pangan, tak ada selera. Posisi perempuan yang begitu lemah dihadapan lelaki, makin diperparah oleh kapitalisme dengan hyper-realitas yang dibentuk media tontonan melalui sinetron.
Tinggalkan Balasan