Walau ada banyak kajian ada banyak kajian dan literatur menyangkut soal penguasaan tanah di masa Orba, baik dari sudut pandang studi agraria, antropologi, politik, hukum dan sejarah. Tapi Alysa bersama nyanyianya membawaku pada idola berat milik Abah, Wiji Thukul sosok Penyair penyair yang di masa Orba banyak menulis puisi protes dan tema tanah dan kekuasaan.

tanah mestinya dibagi-bagi
jika cuma segelintir orang yang menguasai bagaimana hari esok kaum tani
tanah mesti ditanami
sebab hidup tidak hanya hari ini
jika sawah diratakan
rimbun semak pohon dirubuhkan
apa yang kita harap
dari cerobong asap besi.

Sederhananya puisi ini menggambarkan bahwa tanah telah ditanami oleh cerobong asap besi. Rakyat seperti para petani tak lagi punya tanah yang layak untuk ditanami, satu dua kali menjelaskan tentang derita rakyat yang tak bertanah di negeri sendiri. Tanah hanya dikuasai para tuan tanah.

”Tanah mesti kita jaga apalagi tanah air. Sejauh mana pun kita merantau” Alysa tak juga berhenti bernyanyi, seakan-akan semuanya dilampiaskan kepada hujan yang tak henti, syairnya tak berhenti membuatku melamun pada ingatan-ingatan, sempat singgah pada beberapa hari lalu awal Agustus bulan itu sempat membaca puisi  Fakhrunnas MA Jabbar dalam puisinya bertajuk Tanah Airku Melayu.

di sini
kuberdiri
di tanah airku
di ranah melayuku
sejauh-jauh mata memandang
di ranah melayu ditukikkan
sejauh-jauh kaki melangkah
di ranah riau dihentakkan
sejauh-jauh hati ’kan terbang
di ranah melayu dihinggapkan.

Di mana pun, tanah menjadi tumpuan. Tanah adalah tapak untuk tegak. Tak heran jika tanah jadi sumber sengketa, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Demi tanah dan tanah air kita rela bertumpah darah. Kita mati-matian melawan perampasan tanah, termasuk tanah ulayat.

Sebagai orang yang menyukai karya-karya sastra, aku banyak mengumpul buku-buku puisi, Nobel, bahkan punya beberapa kumpulan cerpen, dua di antaranya adalah Cerpen Bukan Kabut karya M. Badri dan cerpen Sengketa Tanah Ulayat karya Sy Bahri Judin dalam jurnal penelitian sastra Metasastra. Dua karya yang disimpulkan oleh Marlina bahwa kedua cerpen tersebut menggambarkan secara nyata kondisi hutan dan kondisi masyarakat di Riau. Masyarakat harus kehilangan hutan dan tanah ulayat. Cerpen tersebut mengkritik pemerintah dan perusahaan perkebunan yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan dan perampasan tanah ulayat dari masyarakat Riau.