“Tanah air?……..” Terpotong suara mahasiswi yang aku kenal beberapa bulan lalu dalam malam keakraban dan penyambutan, ia membawa bayangan pada sosok guru bahasa Indonesia di sekolah menengah awal pernah menjelaskan tentang tanah air yang menjadi sebuah kekuatan lain. Makna melahirkan jati diri sebuah bangsa. Di sini nasionalis dan pengkhianat bisa lahir. Jika nasionalis lahir dari tanah air, maka ia rela bertumpah darah satu, tanah air Indonesia seperti dalam Sumpah Pemuda.
Jika pengkhianat lahir dari tanah air, maka akan melahirkan tanah air mata seperti makna sebuah karya dalam puisi presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri:
Tanah airmata tanah tumpah darahku
mata air air mata kami
air mata tanah air kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa kami
kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak dapat sembunyi
Ia merebak ke mana-mana.
Dikutip dari dalam buku pembelajaran Puisi untuk Mahasiswa: Buku untuk Mahasiswa yang ditulis oleh Mohd. Harun (2018: 77). Puisi Tanah Air Mata berisi kritikan pedas terhadap penyelenggara negara, baik unsur legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, yang dengan sengaja telah mengusur rakyat jelata.
Dalam buku tersebut juga membahas bahwa diksi “air mata” sengaja digunakan berulang kali sebagai wujud keprihatinan sebuah kesuburan dan etalase gedung mewah tak sanggup menahan air mata, perih, derita, nestapa, atau dukalara. Namun, air mata bisa membangkitkan kekuatan. Derita dan dukalara itulah akan menjadi kekuatan sesungguhnya untuk meruntuhkan keangkuhan dan keserakahan Kalian sudah terkepung.
Tinggalkan Balasan