Karena itu, pengaturan mengenai illicit enrichment bisa menjadi pendekatan baru (new approach) dalam tindak pidana korupsi. Sehingga, target pemberantasan tidak hanya menyasar pada pelaku atau koruptor, tetapi upaya pengembalian aset dengan cara follow the money.

Berdasarkan itu, karena ketiadaan aturan, maka negara wajib membuat suatu kebijakan agar dapat mengatur masalah illicit enrichment menjadi suatu produk hukum.

Akses Publik Melalui LHPKN

Di sinilah pintu masuk untuk mengukur pendapatan pejabat. Sebagai penyelenggara negara, harta kekayaan yang dimiliki apakah sah atau tidak. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai akta autentik berfungsi untuk mengakurasi sumber kekayaan tersebut.

Kasus Kepala Bagian Umum di Kanwil DJP Jakarta II yang sedang viral di media sosial saat ini adalah satu dari sekian penyelenggara negara di Indonesia yang kekayaannya diduga tidak wajar. Setidaknya, hal itu diketahui melalui keluarganya yang gemar pamer.

Meski demikian, dalam Policy Paper tentang Implementasi dan Pengaturan Illicit Enrichment di Indonesia (2014), mengkritik bahwa LHKPN masih relatif lemah untuk menjadi perhatian dari lembaga pemberantasan korupsi, padahal LHKPN adalah dasar kesesuaian aset dan harta kekayaan setiap penyelenggara negara.

Karena itu, kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar dianggap hal yang sebaliknya (wajar). Kadang, banyak aset penyelenggara negara disembunyikan selama menjabat, dan baru dipamerkan setelah berakhir masa jabatannya.