Dalam artikel Andreas Marbun (Peneliti IJRS) berjudul “Pejabat dengan kekayaan tak wajar tidak bisa dipidana: salah siapa?”, mengatakan karena ketiadaan aturan khusus, maka seolah-olah para pejabat merasa tidak akan masalah walau sumber kekayaannya patut dicurigai.
Menurutnya, memang dalam ketentuan UNCAC tidak mewajibkan adanya pengaturan mengenai illicit enrichment, karena itu merupakan non-mandatory offences, tetapi hal tersebut tidak dapat membatasi pembentukan aturan mengenai jenis tindak pidana ini.
Hal ini memiliki dasar yuridis yang sangat jelas, di mana Indonesia sebagai peserta UNCAC boleh saja merumuskan kebijakan legislasi terkait illicit enrichment dengan mengacu pada Pasal 20 UNCAC yang menyatakan, negara perlu melakukan tindakan legislatif atas adanya peningkatan aset kekayaan pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara wajar dan logis.
Adapun pengertian mengenai istilah illicit enrichment ini menurut Milda Istiqomah (2016) dalam penelitiannya tentang “Kebijakan Formulasi Pengaturan “Illicit Enrichment” Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” menjelaskan, jika terdapat kekayaan yang tidak seimbang dengan pendapatan (gaji dan bukan gaji) selama menjabat, maka hal ini tergolong sebagai illicit enrichment.
Batasan kekayaan terlarang ini unsurnya tidak hanya diri sendiri. Menurut Milda Istiqomah, juga termasuk memperkaya korporasi miliknya, milik keluarganya maupun memperkaya keluarganya sedarah dan semenda sampai derajat ketiga.
Tinggalkan Balasan