Tak bermaksud membela, pada level perspektif, ada benarnya Bung Syam menyeru pentingnya Tidore dalam perspektif peradaban melalui konvensi nilai dan modernisasi ekonomi, terlepas dari pelintir kontroversi ikutan netizen dan warga, serta ada yang menyebut distartir dan dikonfrontir elite tertentu. Pun beragam perspektif lain dari para kompetitor yang bakalan muncul meramaikan Pilwali Tikep, baik petahana atau “penantang”.
Mengenai konvensi nilai, sebagai contoh, kita perlu menengok restorasi Meiji di Jepang. Spirit samurai dikonvensi menjadi etos kerja dan keaslian jati diri orang Jepang di tengah modernisasi, Jepang tampil bersaing tanpa meninggalkan keadatannya sebagai orang Jepang. Spirit lain seperti Katana (Pedang) bukan untuk membunuh tapi untuk melindungi. Dapatlah kita memetik pelajaran sportivitas kompetensi sarat kompetensi sekaligus jadi cemeti bagi kita mendorong strategis kebudayaan dalam perencanaan pembangunan.
Kekuasaan manapun yang mendagu Soekarnois, bila birokrasinya dalam tekanan dan hegemoni kuasa, kepatutan pegawai dan pekerja pemerintahan seperti dalam belenggu, sebetulnya prinsip perikemanusiaan dan perikeadilan perlu dipertanyakan. Ada tanda bahaya yang harus dinyalakan, corak kekuasaan berdasarkan anjuran seorang moralis Nicollo Machiavelli, seorang pemimpin harus ditakuti dan dicintai sekaligus untuk menerima semua kebijakannya. Bila terpaksa harus memilih, dia harus memilih ditakuti. Agar tak mendikte, rakyat dan para pegawai pemerintahan tentu punya standar penilaian tersendiri untuk menilai pemimpinnya.
Betapapun, bukan maksud membela Soekarno, Sukarno muda bercita-cita membangun tata dunia baru yang adil dan demokratis, namun kadang orang kebanyakan juga salah kaprah memahami Soekarno tua yang pro status quo dan anti demokrasi atau menyingkirkan lawan-lawan politik di level praktik, padahal semata demokrasi terpimpin menuju sosialisme itu memiliki konsekuensi ideologis di tengah ketegangan dan tarik menarik kutub-kutub kekuatan politik kala itu. Butuh analisa tajam menyelami latar sosio-historis politik era Soekarno.
Kita pun telah mengenal Putra Sang Fajar, Bung Karno dalam berbagai literatur dan pidato heroiknya, ia adalah Proklamator dan rekonsiliator perdamaian dunia berkarakter progresif revolusioner ini.
Menyedihkan kala gagasan politik dan dirinya hanya menjadi pajangan alat peraga kampanye di sudut kota hingga pelosok tanpa membumikan ajaran dan cita-citanya. Spirit Sosialisme Indonesia; Masyarakat Adil Makmur, Trisakti Revolusi Indonesia; Merdeka seutuhnya, rupa kehilangan marwah di podium dan catatan politisi apolitik dan ahistoris yang tampik sorai kesenangan di medan politik elektoral kini, dari waktu ke waktu.
Tinggalkan Balasan