Tak dapat disangkal, ajaran Bung Karno, lelaki berkeronganan menggeledek dan berpikiran revolusioner ini sebatas milik organisasi dan partai politik tertentu? Tentu tidak. Bung Karno milik bangsa, milik dunia internasional, milik semua bangsa bernasib sedang dalam penghisapan satu bangsa terhadap satu bangsa yang lain, penjajahan satu bangsa dengan bangsa yang lain.
Bangsa manapun yang terjebak dalam kesenjangan kemakmuran dan keadilan berhak berdiri dan berduyun-duyun gegap gempita menggelorakan Ajaran Bung Karno. Di Venezuela, Chile, Bolivia, Kuba, dan beberapa negara lainnya, ikut tersihir oleh angin revolusi ala Bung Karno. Konsepsi seperti berdikari, Manipol Usdek, Nasakom, Demokrasi Terpimpin berdimensi Sosialisme Indonesia, Nasionalisme humanis bukan chauvinis, dan konsepsi adiluhur lainnya.
Tak kalah pelak, Pancasila sebagai tawaran konsepsi ideologi internasional kala dunia terbagi menjadi blok barat dan blok timur; Manifesto Komunis versus Deklarasi Kemerdekaan Amerika, komunis head to head kapitalis, Bung Karno menggemakan Pancasila bagai mercusuar di hadapan sidang dunia internasional. Tentu ini sisi hebat dari Bung Karno yang belum tertandingi dalam sejarah presidensi di PBB. Kita wajib mendasari konsepsi semacam ini di tengah gempuran dan tantangan yang bergerak dialektik, dinamik, agar tak kehilangan esensi romantikanya sebuah pergerakan. Iya, menyetir Kata Bung Karno, “Revolusi itu ada dialektiknya, dinamiknya dan romantiknya”.
Ajaran Bung Karno adalah warisan pemikiran dalam khazanah perubahan sosial, teramat sekali dalam perbincangan revolusi; gerakan perubahan mendasar ekonomi politik. Kata Bung dalam Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, “irama dari revolusi adalah menjebol dan membangun”. Kita kini hendak menjebol, lalu konsepsi macam apa untuk menatanya kembali kalau bukan pemikiran yang progresif berdimensi geopolitik strategis dan sosiokultural masyarakat lokal.
Menemukan kembali ajaran Bung Karno dewasa ini, publik harus berani terbebas dari klaim, baik klaim biologis maupun klaim ideologis. Bagimana dengan Syamsul Risal Hasdy, apakah sebuah kesalahan ia mendagu dirinya sebagai soekarnois yang juga bisa jadi berpeluang memikat hati Ibu Megawati Soekarnoputri, lantas mendapatkan rekomendasi partai PDI Perjuangan untuk ikut bertarung di Pemiihan Wali Kota Tidore? Wallahualam bissawab. Tentu memunculkan kerumitan tersendiri bagi para pengamat bila disandingkan dengan Muhammad Sinen, Ketua Dewan Pengurus Wilayah PDI Perjuangan Provinsi Maluku Utara sebagai petahana. Biarlah itu menjadi urusan internal PDI Perjuangan baik kader partai maupun partisan yang qualified sebagai insan politik soekarnois. Partai punya mekanisme tersendiri untuk itu.
Namun, membincang ajaran Bung Karno sebetulnya adalah gugatan epistemologis sekaligus aksiologis bagi kita semua. Sejauh mana konsistensi laku kekuasan mewarnai tindak tanduk pemerintahan atas nama ajaran Bung Karno. Itu yang utama. Bila rakyat makin susah berdiri di atas kaki sendiri, dan tidak punya kemampuan untuk membeli sendiri kesejahteraannya, maka kita sedang dalam masalah konsepsi tercerabutnya ekonomi berdikari. Bila kedaulatan politik membendul elitis, maka kita bermasalah dalam konsepsi politik daulat penguasa, mendepak daulat rakyat. Dan, bila budaya kita tidak mengusung tatanan budaya yang bermartabat dan egaliter, maka kita sedang terlena dalam kebudayaan semu dan “ogah” mengkonversi nilai luhur dalam semua lapangan praktik. Butuh keberanian membumikan Trisakti revolusi Indonesia di daerah di tengah kekalutan relasi timpang pemerintah pusat dan daerah beserta dimensi sinkretiknya.
Tinggalkan Balasan