Oleh: Taswin Mahdi

Jurnalis

_______

HALMAHERA Timur dan Halmahera Tengah barangkali menjadi tumbal lahirnya hilirisasi nasional yang diinisiasi Kementerian Perindustrian pada 2010 lalu. Pertama, terganggunya ruang hidup orang Tobelo Dalam di Hutan Akejira. Kedua, jaminan kemakmuran.

Ketakutan orang Tobelo Dalam akan kehilangan tempat tinggal mungkin saja tidak terlintas di benak, andai saja PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) tidak mengeksploitasi nikel di Weda, Kabupaten Halmahera Tengah. Tanpa IWIP, bisa jadi orang Tobelo Dalam yang mendiami Hutan Akejira masih aman-aman saja. Tidak terusik. Demikian juga sedimen material tambang di pesisir Teluk Monoropo di Desa Soasangaji, Kecamatan Kota Maba. Biota laut hingga vegetasi mangrove sekitar tercemar akibat limbah PT Aneka Tambang (Antam).

Halmahera Timur dan Halmahera Tengah seyogyanya sudah sejahtera dibanding masyarakat kabupaten-kabupaten penghasil kekayaan alam lainnya di Provinsi Maluku Utara. Sumberdaya alam seperti nikel dan emas yang melimpah mestinya menjadikan dua kabupaten ini sebagai daerah makmur.

Sayangnya, harapan hidup sejahtera belum berpihak. Keberadaan IWIP dan Antam belum mampu berkontribusi besar untuk menyejahterakan masyarakat sekitar.

Badan Pusat Statistik Maluku Utara mencatat tingkat kemiskinan di Maluku Utara Tahun 2021 mencapai 87,16 ribu orang, menanjak 6,89 persen dari Tahun 2020 yang hanya 86,37 ribu orang atau 6,78 persen. Tertinggi di Halmahera Timur sebesar15,05 persen dan Halmahera Tengah yang menyentuh angka 13,52 persen. Perihal ini tentu sangat kontras jika dilihat kekayaan alam yang dimiliki dua kabupaten ini. Bukan sebaliknya.