Oleh: Bahrudin Tosofu
Ketua Bawaslu Kota Tidore Kepulauan

______

“Gerakan politik pemuda harus memiliki basis ideologi kebebasan. Artinya, bebas dalam bersikap dan bertindak tanpa tekanan apapun dan siapapun.”

KUALITAS demokrasi suatu negara dinilai dari seberapa besar partisipasi masyarakatnya. Karena pemilu adalah sarana politik warga negara sebagai bentuk nyata kedaulatan rakyat.

Beberapa waktu lalu, Badan Pengawas Pemilu Kota Tidore Kepulauan bekerja sama dengan alumni Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif menggelar Bacarita Pemilu di Lingkungan Afa-afa Tomayou, Kelurahan Afa-afa, Kecamatan Tidore Utara.

Mengambil tema “Peran Pemuda Awasi Pemilu dan Pilkada Kota Tidore Kepulauan Tahun 2024”, tentu ada alasan tersendiri mengapa mengangkat tema tersebut.

Pemuda, oleh Bung Karno dilihat sebagai sebuah kekuatan besar yang mampu membuat perubahan. Pemuda adalah benih-benih harapan, yang kelak menjawab segala lika-liku kebangsaan.

Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, peran pemuda mengalami dinamika dengan berbagai konteks. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pemuda telah memperlihatkan partisipasi politik yang tinggi.

Peran pemuda dalam politik Indonesia abad ke-20 merupakan fenomena khas. Apalagi, sejarah politik Indonesia memiliki kekhasan tersendiri.

Di mana kerap terjadi lompatan sana-sini dengan kejutan-kejutan tertentu, yang memungkinkan sistem politik dan sirkulasi kekuasaan dapat dilakukan dengan cara-cara tertentu.

Dengan demikian, peran dan partisipasi pemuda dalam pentas politik sangat penting. Gerakan politik pemuda harus memiliki basis ideologi kebebasan. Artinya, bebas dalam bersikap dan bertindak tanpa tekanan apapun dan siapapun.

Memang, pemuda dalam beberapa kontestasi politik belakangan ini memiliki kecenderungan pada kekuasaan. Idealisme, sebagai harta terakhir untuk membawa perubahan politik, seakan hilang. Sementara, pragmatisme politik justru semakin menonjol.

Bahkan, tak bisa dipungkiri, bahwa sebagian pemuda melakukan transmisi ke beberapa partai politik dengan cita-cita yang tidak tunggal. Umumnya, mereka mengharapkan legitimasi kekuasaan.

Dinamika yang mengukuhkan praktik tak bermoral seperti politik uang, memobilisasi birokrasi, hingga berbagai pelanggaran lainnya, jelas memerlukan energi baru yang positif untuk merekonstruksi segala bentuk permainan politik seperti itu.

Di sinilah peran pemuda. Sebab, dalam praktik-praktik seperti itu, selain daripada minimnya kesadaran politik, penulis melihat persoalan tersebut lebih pada etika – moral.

Memang, beberapa daerah di Indonesia, khususnya Maluku Utara, memiliki konsep tersendiri. Terutama mengenai etika atau norma-norma sosial, yang dikaitkan dengan kekuasaan politik.

Kekuasaan, jika ditinjau dari kearifan lokal masyarakat Tidore, ada yang kita kenal dengan istilah “Toma Loa se Banari” atau menempatkan sesuatu yang benar.