Dalam aspek hukum, Astrid menuturkan, sejauh ini belum ada keberpihakan secara serius dari pendampingan hukum.

“Ini tergolong lemah, makanya kami merasa sangat kesulitan untuk mendampinginya. Saat ini kasus-kasus kekerasaan yang terjadi di Tidore, kita mulai serius tangani dari sisi pendampingan hukum,” sambungnya.

Sepanjang 2019-2021, Astrid berujar, ada 9 kasus kekerasan terhadap perempuan di Tidore. Kasusnya bermacam-macam, mulai dari pencabulan hingga pemerkosaan anak.

“Tahun 2019 anak usia 13 tahun mengalami pelecehan seksual (kasus dicabut kembali), anak usia 7 tahun mengalami pencabulan (hukuman pidana), kasus KDRT yang tidak dilaporkan dari Kelurahan Goto, dan anak usia 1 tahun yang mengalami penelantaran atas perbuatan bapak dan ibu di Desa Lifofa,” jabarnya.

Tahun 2020, terjadi pencabulan orang tua kandung terhdap anak kandung yang duduk di bangku SD-SMA kelas 11 (pelaku terpidana), pemerkosaan ayah tiri terhadap anaknya sehingga anak tersebut hamil (pelaku terpidana), dan kekerasan fisik terhadap perempuan yang terjadi di ruang publik (kasus diberhentikan/SP3).

“Tahun 2021 terjadi pemerkosaan anak di Kelurahan Fobaharu dan pelecahan seksual di Kelurahan Mareku. Dari paparan kasus sepanjang tahun 2019-2021 itu, kita harus terus bergandeng tangan membangun spirit bersama agar korban-korban kekerasaan bisa bersuara dan tidak lagi diintimidasi,” tandas Astrid.