Tandaseru — Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Maluku Utara kian memprihatinkan. Sepanjang 2022 yang baru masuk bulan kedua saja sudah tercatat 43 kasus kekerasan di Malut.
Berdasarkan data kekerasan situs Simfoni milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diakses pada Minggu (27/2), 43 kasus itu terbanyak ada di Kota Ternate dengan 16 kasus. Disusul Halmahera Utara 12 kasus, Kota Tidore Kepulauan 6 kasus, Halmahera Barat dan Halmahera Selatan masing-masing 4 kasus, serta Halmahera Tengah dan Halmahera Timur masing-masing 1 kasus.
37 korban kekerasan di Malut merupakan perempuan dan sisanya 8 korban adalah laki-laki. Rata-rata korban dominan berusia 25-44 tahun. Mirisnya, pelaku sebagian besar memiliki hubungan kekerabatan dengan korban yakni suami/istri.
Rumah tangga menjadi tempat kejadian kekerasan terbanyak. Menariknya, jenis kekerasan terbanyak adalah seksual, fisik dan psikis di mana masing-masing terdapat 15 kasus sepanjang tahun ini.
Dalam diskusi yang digelar komunitas Payung Sejiwa di Kedai Rumah Tua Literasi Kota Tidore Kepulauan, Sabtu (26/2) malam, Psikolog Klinis yang juga Founder ECP Khairunnisa menyatakan selama menangani kasus kekerasan di Malut, korban didominasi anak-anak.
“Kebanyakan dalam kasus kekerasaan seksual terhadap anak di Maluku Utara, dimulai dari usia 5-13 tahun. Dari wawancaranya, awalnya mereka sangat tertutup, ketakutan, kecemasan, maupun pemeriksaan secara psikologis,” tutur Khairunnisa.
Penanganan asesmen terhadap korban kekerasaan anak terdapat tiga tahapan, yaitu tes integritas, kepribadian, dan bercerita tentang kasus yang dialami. Tak hanya itu, pihak keluarga juga dimintai keterangan lebih lebih lanjut.
Khairunnisa menjelaskan, setelah tahapan itu dilewati, selanjutnya ada rencana tindak lanjut dalam bentuk intervensi. Bentuknya adalah pemulihan atau terapi terhadap korban.
“Kalau dari Pemberdayaan Perempuan dan Anak hanya lewat asesmen saja, dan selanjutnya kembali ke Dinas Sosial untuk membuat tindaklanjutnya,” paparnya.
Dasar dari kegiatan seperti ini, kata dia, harapannya terus dilakukan sehingga ke depan orang lebih terbuka dan leluasa bercerita tentang kasus kekerasaan perempuan dan anak.
Sementara Pemerhati Perempuan Astrid Hasan menambahkan, selama mendampingi korban kekerasan ada banyak faktor yang menjadi kendala. Ia mencontohkan, ketika menyambangi korban kekerasan seksual di Kecamatan Oba Tengah, pihaknya juga melakukan audiens dengan Kapolres terkait SP3 kasus tersebut. Namun korban menurutnya tidak mendapat keberpihakan hukum dalam kasus tersebut.
“Jadi kami berasumsi bahwa kasus kekerasaan yang terjadi di ruang-ruang publik sangat rentan dalam penanganan secara hukum,” tegasnya.
Tinggalkan Balasan