Ini menunjukkan para sejarawan yang belum mengungkap fakta dan kebenaran tentang Nukila. Bukan hanya itu, saya pun sampai sejauh ini tidak mengetahui banyak persoalan Nukila atau Rainha Boki Raja dalam perjuangan dan kebesaran sejarah Ternate. Seperti dalam prolog yang ditulis Gufran Ali Ibrahim, di sini tiga perempuan dirangkum dalam satu paragraf. Meski berada pada zaman yang berbeda, tiga perempuan ini sama dalam satu hal: Jurnalis perempuan. Sitti Ruhana Kuddus, Boki Fatimah, dan Ika Fuji Rahayu. Sama berkhidmat pada kebudayaan perkabaran dan tradisi menulis.

Sebagai seorang jurnalis perempuan dan Pemimpin Redaksi pertama yang memimpin perusahaan media Malut Post, memberikan kita sebuah spirit dan kesetaraan gender. Banyak catatan perjalanan dan peka terhadap isu-isu sosial kultural. Ia tak hanya melakukan pekerjaan jurnalistik, namun memberikan inspirasi bagi setiap generasi untuk setia dan belajar dari kemanusian, kemandirian, dan sendiri memperkenalkan jejak dari cerita seperti di tulis oleh Roem Tupatimasang tentang orang-orang kalah.

Kita tak cukup belajar mengulang kenangan. Sebab belajar dari sejarah di bagian tujuh dan belajar dari kenangan, bencana, dan kemanusiaan di bagian delapan yang ditulis secara mendalam oleh Bang Gha ini, mempertegas kita agar tak keluar dari rel kehidupan untuk menyerah. Sebab yang diajarkan “Merdeka untuk Belajar” dalam kacamata Bang Gha, bahwa sebagai bangsa dengan usia di atas setengah abad, adalah sebuah ironi jika kita tergusur dari arus besar globalisasi. Sejarah mencatat pikiran mereka pertama kali lahir dari anak bangsa yang bersolah di zamannya. Deretan nama Ir. Soekarno, Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, Wahidin Soedirohusodo, dr. Sutomo, hingga Chasan Boesori, Arnol Mononuttu, Daniel Bohang, dan Botji Hasan Esa di tanah Ternate adalah pemuda Indonesia yang cerdas dan modern. Gigih berkompetisi ide dan gerakan untuk merdeka dengan membentuk negara sendiri lepas dari rezim penjajah.

Dari daftar nama di atas, saya punya satu nama yaitu, Rusli Jalil. Ko Uchie dalam sapaan akrabnya. Ia patut disebutkan anak bangsa yang diberikan tempat khusus dalam keteladanannya menjadi seorang jurnalis yang anti amplop. Ketika membaca Uchie seperti yang dinilai Bang Gha, ia tetap konsisten dengan bicara jurnalisme damai.

Walaupun belum terlalu dekat dengan Ko Uchie semenjak menjadi jurnalis dan bertugas di Ternate, saya terharu saat Bang Gha mengisahkan Ko Uchie saat bersama menggeluti dunia jurnalis. Bahwasanya, dengan penampilan Uchie merendah dan sederhana membuat banyak yang terkesan. Meski begitu, Wali Kota Syamsir Andili saat itu paling menyayangi Uchie meski setiap pekan selalu di “jubi” dengan sikap redaksi yang menohok pemerintah. Ko Syam menilainya sebagai jurnalis sekaligus aktifis yang ulet dan cerdas. Uchie tak hanya pernah tampil di depan. Ia memilih bekerja dengan tulisannya yang tajam. Sendirian dan cenderung misterius.

Dengan demikian, seperti dalam bukunya Jurnalisme Investigasi, Dandhy Dwi Laksono menyebutkan, kerasnya tempaan liputan di lapangan membuatnya tak mudah menyerah menghadapi tekanan apapun dari pihak perusahaan. Jaringan dan pergaulannya juga lebih luas sehingga mereka tak pernah khawatir kehilangan pekerjaan atau profesi. Jurnalis dalam kelompok ini punya posisi tawar lebih kuat dan cenderung didengar oleh manajemen, dibandingkan kelompok “penggerutu” yang tidak proaktif. Bila perusahaan sudah benar-benar tak memungkinkan untuk bekerja secara profesional, maka pilihannya adalah keluar, baik dengan melawan maupun dalam sunyi.

Untuk itu di dalam sebuah bedah buku yang ditulis oleh Bang Gha di Rumah Tua, Kelurahan Indonesiana beberapa waktu lalu, saya mengintip perkataan Bang Gha ”penulis bukan profesi yang harus dibanggakan, akan tetapi di situ ada kepuasan-kepuasan batin orang untuk membaca tulisannya supaya lebih bermanfaat,” tutur Bang Gha. (*)