Belajar dari Para Daeng, yang dicontohkan Bang Gha, tentang hubungan kepala daerah dan ketua DRPD Sulawesi Selatan. Di sini dijelaskan bahwa Gubernur Nurdin Abdullah dan Wakil Gubernur Andi Sudirman Sulaiman yang baru saja terpilih dan menjabat belum cukup setahun. Apa dasar sehingga para Daeng Legislator sepakat membentuk Panitia Khusus Angket dan menginvestasi berbagai dugaan pelanggaran Kepala Daerah?
Dari pertanyaan tersebut, Ketua DPRD Sulawesi Selatan, M. Roem memberikan lima alasan yang dijadikan sandaran hak angket. Pertama, surat keputusan pelantikan 193 pejabat yang ditandatangani Wakil Gubernur. Kedua, pengangkatan PNS yang tidak professional. Ketiga, dugaan KKN. Keempat, pencopotan pejabat yang tidak sesuai mekanisme, dan kelima, serapan anggaran dalam APBD 2019 yang minim.
Menurut saya, yang dipersoalkan dari kasus tersebut, Gubernur Nurdin Abdullah mengangkat iparnya sebagai Direktur Perusda Sulawesi Selatan dan Wakil Gubernur Andi Sudirman Sulaiman mengangkat kakak kandungnya sebagai Kepala Bappeda Sulawesi Selatan. Berkumpulnya dinasti yang dikukuhkan dalam satau birokrasi ini dianggap menghakimi kemampuan orang lain.
Sistem ini, sebagaimana ditulis Aan Aris dalam sebuah artikel di rri.co.id edisi 12 September 2021 berjudul Makna Daeng bagi Suku Bugis, Makassar, dan Mandar. Aan menyebutkan, gelar Daeng pada awalnya dipakai oleh kasta Ana’Arung. Tapi akhirnya gelar Daeng juga dipakai oleh kasta To Maradeka untuk membedakan kasta mereka dengan kasta Ata yang tidak memakai gelar.
Gelar Daeng juga dipakai khusus oleh para pelaut Bugis, kaum passompe dan pedagang Bugis yang merantau ke Kalimantan, Sumatera dan wilayah-wilayah lainnya di Nusantara agar mereka lebih mudah dikenal sebagai suku Bugis.
Artikel yang dilansir Indragrione, Sabtu (11/9/2021), bahwa nama yang diawali dengan Daeng yang arti harfiahnya orang yang dituakan dalam bahasa Bugis, selain merupakan doa, juga merupakan kata pelembut untuk memanggil yang bersangkutan sehingga dahulunya banyak digunakan.
Sementara itu, saya belum menemukan alasan dibalik Bang Gha mengangkat orang-orang Daeng yang sudah sekian tahun menghuni di Kota Ternate, Maluku Utara dengan latar belakang pekerjaan dan status sosial. Semoga saya bisa mendapat penjelasannya dan mengerti.
Sedangkan di bagian ketiga, Bang Gha memberi satu judul “Belajar dari Perempuan dan Kehidupan”. Di sini kita mendapatkan Nukila. Dalam bukunya, Rainha Boki Raja-Ratu Ternate Abad Keenambelas, Toety Herati, Guru Besar Filsafat UI seperti yang dikatakan Bang Gha, data yang didapat tentang perempuan paling berpangaruh di Ternate di abad pertengahan ini dalam naskah Hikayat Ternate yang ditulis Naidah pada abad ke-19 dan menjadi sumber referensi terbanyak dalam penulisan sejarah Ternate, keberadaan sang Boki tak singgung sama sekali.
Dalam catatan Toety, banyak disinggung tentang sosok Rainha yang kecewa, karena terintimidasi dan memilih jalan hidup lain. Bahwa tinggal bersama putri tirinya yang menikah dengan pedagang Balthazar Velozo, akhir kisah sang Boki dituliskan dengan pembaptisan dirinya oleh Francis Xavier dan berganti nama menjadi Dona Isabela. Sayang, sebagaimana kapan ia lahir, cerita tentang kematian dirinya juga buram. Bahkan Bang Gha sendiri, berulang kali membaca buku Toety Heraty dan buku Om Adnan atas sejarah Ternate lainnya tetapi cerita tentang Rainha Boki Raja tetap tak utuh dan menyisakan banyak tanda tanya.
Tinggalkan Balasan