Kita menulusuri di bagian pertama soal “Dari Babullah, Wallace, Sampah, Banjir, dan Mati lampu”. Semangat juang Babullah, kepeloporan, mempertahankan idealismenya, sabar, dan menghibahkan dirinya untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia mengusir penjajah hinggga dirasakan masyarakat di Maluku Utara, khususnya sejarah Kesultanan Ternate.

Di sini, Bang Gha menjelaskan, putra tertua Khairun bernama Babullah Datu Syah, dalam sambutan pengangkatannya sebagai seorang Sultan, bersumpah akan mengusir Portugis keluar dari Ternate dan Maluku. Sumpah tersebut direalisasi tepat pada tanggal 29 Desember 1575, saat armada Portugis meninggalkan Ternate untuk selamanya dengan kekalahan paling memalukan setelah sebelum dikepung dalam Benteng Kastela selama lima tahun.

Di paragraf ini, saya mendapatkan keberanian Babullah melakukan perwujudan secara mendalam tentang kemuliaannya sebagai seorang Sultan yang menempati janji dan menyamatkan perampasan dan memonopoli perdagangan rempah serta ingin menguasai Ternate, namun ada firasat luar biasa dari seorang Babullah untuk mengambil bagian dalam mempertahankan peradaban Alam Makolano.

Meskipun begitu, selain Babullah, Wallace ketika berpetualang dari barat ke timur Nusantara juga membawa sebuah kesimpulan baru adanya perbedaan yang sangat besar antara flora dan fauna di kawasan barat dan timur. Perbedaan itu terlihat juga pada perilaku masyarakat. Wallace pun membuat garis imajiner sebagai pemisah yang kemudian dikenal sebagai Wallace Line atau garis Wallacea. Teori ini lahir kala ia menikmati lezatnya durian gajah Moya dan mangga dodol di belakang Santiong, Ternate. Ilmuwan kelahiran Inggris ini juga layak diberikan gelar pahlawan.

Muncul pertanyaan bahwa dari Babullah ke Wallace, yang pasti tidak membawa sampah, banjir, dan mati lampu, ataukah di masa itu seperti yang dimaksudkan di atas? Walaupun Wallace diberikan gelar pahlawan, bagi saya, Ternate Kota Madani, Bahari Berkesan, belum sepenuhnya direalisasikan mantan Wali Kota Ternate Syamsir Andili dan Burhan Abdurahman. Entah dibuat dalam bentuk apa, persoalan lain. Karena secara fakta, Wallace pernah menjadi penghuni Ternate melalui riset-riset tentang flora dan fauna di Maluku Utara. Mestinya, ingatan tersebut dirawat dan diwujudkan ke sebuah fisik, tak sekadar tempat tinggal Wallace, tetapi ada warisan yang pernah ditinggalkan di Kota Ternate penting kiranya untuk dipajang di setiap sudut Kota Ternate.

Persoalan sampah, banjir, dan mati lampu, kadang Bang Gha belum mengembangkan khazanah dari Syamsir Andili ke Burhan Abdurahman. Sebab menurut saya, soal sampah, banjir, dan mati lampu salah satu mata rantai fenomena klasik yang saatnya ditangani berdasarkan tingkat kesadaran yang tingggi, empati, dan rasa peka terhadap suasana. Sebab di Ternate Andalan, kita tidak hanya terjebak pada grand design itu-itu saja. Memajukan Ternate harus melibatkan komunitas dan partisipasi publik untuk menilai kelemahannya. Kita butuh orang-orang ambil kebijakan yang ekstrem, tetapi tidak melupakan kebijaksanaan hidup.