Saat itu, sambungnya, ada tiga opsi yang ditawarkan sebelum Tidore dan Papua menyatu dengan Republik Indonesia. Tiga opsi yang ditawarkan tersebut adalah Tidore dan Papua jadi negara merdeka, Tidore dan Papua ikut Belanda, serta Tidore dan Papua menyatu dengan Republik Indonesia.
“Dan pilihannya saat itu yang disampaikan oleh Sultan Zainal Abidin Sjah kan menyatu dengan Republik Indonesia,” jelasnya.
Bakri bahkan mempertanyakan sikap Pemerintah Pusat yang memberi gelar Pahlawan Nasional kepada para tokoh-tokoh lain.
“Kami justru ragu ketika Pemerintah memberi gelar pahlawan kepada tokoh-tokoh yang ketika kita pelajari sejarahnya justru ragu, karena mereka tidak berjuang untuk rakyat dan bangsanya, kok bisa jadi Pahlawan Nasional? Dan almarhum (Sultan Zainal) yang semua orang tahu kejelasan sejarahnya tanpa diusul pun pemerintah harus sadar, karena sepertiga wilayah Indonesia ini adalah wilayah Kesultanan tidore,” ucapnya.
Bakri juga menyinggung gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Frans Kaisiepo, seorang politikus Papua.
“Saat itu Frans Kaisiepo hanyalah seorang aktivis, dan keputusan strategis saat itu ada di tangan Sultan Zainal Abidin Sjah,” kata Bakri.
Ia mengaku sangat menyayangkan jika seorang Sultan Zainal Abidin Sjah tidak diberi gelar Pahlawan Nasional.
“Kalau bukan atas perjuangan beliau, hari ini Indonesia tidak ada dari Sabang sampai Merauke. Tentu kami sebagai Ngofa Adat merasa tersinggung jika almarhum tidak diberi gelar Pahlawan Nasional,” pungkas Bakri.
Tinggalkan Balasan