Dengan demikian secara empiris dan filosofis, bahwa para pengungsi, tanpa identitas legal yang jelas, tidak bisa memperoleh hak-hak asasi, sipil, maupun politisnya sebagai manusia dan warga negara. Mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk memilih orang-orang yang akan memerintah mereka secara politis, tidak mendapatkan pendidikan, perlindungan kesehatan, dan penghidupan yang layak sebagai manusia.
Menanggapi itu semua, kita perlu untuk melebarkan paradigma kita terkait dengan status hukum para pengungsi, atau pun orang-orang yang tak memiliki kewarganegaraan lainnya. Untuk itu, kita perlu mengubah pandangan kita tentang apa dan siapa itu manusia, serta konsekuensi etis apa yang perlu kita tarik dari pemahaman tersebut. Pada titik ini pemikiran Giorgio Agamben sangat relevan.
Gagasan Biopolitik Giorgio Agamben
Tulisan-tulisan Agamben tentang biopolitik merupakan tanggapannya terhadap filsafat politik Hannah Arendt tentang kaitan antara hak-hak asasi manusia dan situasi politik para pengungsi. Bagi Arendt, sebagaimana dicatat oleh Agamben, ada kaitan yang amat erat antara keberadaan negara-bangsa di satu sisi, dan hak-hak asasi manusia di sisi lain. Hubungan ini bersifat paradoks. Di satu sisi, hak-hak asasi manusia dilindungi oleh negara. Namun, supaya hak-hak asasi seseorang bisa dilindungi, maka ia harus menjadi warga negara tertentu yang nantinya akan melindungi hak-hak asasinya. Situasi menjadi membingungkan, ketika seseorang pengungsi yang baru melarikan diri dari negara tempat tinggalnya dan pergi ke suatu negara yang bukan merupakan negaranya. Pertanyaannya lalu, siapa yang akan menjamin dan melindungi hak-hak asasinya sebagai manusia?
Lebih lanjut, di dalam deklarasi-deklarasi yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, ada ambigutitas tentang kata manusia. Misalnya deklarasi hak-hak asasi manusia yang didengungkan ketika Revolusi Prancis 1789. Di dalam deklarasi tersebut, kata manusia sering kali diartikan sebagai warga negara. Sehingga hak asasi manusia menjadi sempit dimaknai sebagai hak warga negara Prancis. Dengan begitu, yang terjamin hak-hak asasinya adalah orang Prancis itu sendiri. Sementara, orang-orang selain negara tersebut tidak mendapat perlindungan serupa bahkan dibenarkan untuk dijajah ataupun dieksploitasi.
Menyimak fenomena di atas, Agamben mengajak kita untuk megubah kerangka berpikir kita dalam memahami serta memaknai hakikat konsep hak-hak asasi manusia. Menurutnya, dibutuhkan “perkawinan” pemahaman dari manusia sebagai makhluk alamiah yang sudah selalu memangku hak-hak asasi (prinsip nativitas) menjadi warga negara yang memiliki hak sekaligus kewajiban legal tertentu (prinsip politik). Inilah yang dimaksudkannya sebagai prinsip biopolitik.
Tinggalkan Balasan