Dalam fenomena orang-orang yang tak memiliki negara ini, saya mengunakan pemikiran Giorgio Agamben, filsuf asal Italia, sebagai acuan utama. Tentang orang tak memiliki negara, Agamben menyebutnya sebagai para pengungsi, terjebak dalam lingkaran negativitas di atas (pelanggaran HAM berat, perdagangan manusia), mereka kehilangan statusnya sebagai manusia dan menjadi “yang lain” dari manusia, yakni para pengungsi itu sendiri.
Bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap para pengungsi ini?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya mencoba jawab dengan mengacu pada pemikiran Agamben, tentang kaitan antara manusia, negara, dan hak-hak asasi manusia.
Para Pengungsi
Para pengungsi adalah orang-orang yang melarikan diri dari tempat asalnya, karena berbagai alasan, seperti perang, diskriminasi politis, bencana alam, atau pencarian penghidupan yang lebih baik. Status kewarganegaraan mereka tertunda, akibat mereka telah meninggalkan tempat asalnya, namun belum memiliki status legal yang baru. Dalam arti ini, para pengungsi adalah orang-orang yang tidak memiliki negara (stateless). Dalam konvensi pada tahun 1954 terkait dengan status orang-orang yang tak punya kewarganegaraan, sebagaimana dikutip oleh Southwick dan Lynch, orang-orang tanpa warga negara adalah “orang yang dianggap tidak menjadi warga negara dari negara manapun, dan tidak berada di bawah aktivitas hukum suatu negara” .
Kejelasan status kewarganegaraan seseorang menjadi amat dipentingkan, sebab tanpa kewarganegaraan yang jelas, orang akan sulit mendapatkan pekerjaaan yang layak, yang mampu menopang hidupnya sebagai manusia yang bermartabat. Orang juga tidak akan mendapatkan jaminan pelayanan-pelayanan dasar sebagai manusia, seperti pendidikan yang baik, dan pelayanan kesehatan yang layak. Tanpa kewarganegaraan yang jelas, orang juga tidak bisa berpartisipasi dan terlibat secara aktif dalam politik, seperti menjadi pejabat negara, atau mengikuti pemilihan umum demokratis dan orang tidak mendapatkan perlindungan hukum ketika terkait dengan soal-soal kriminalisasi, baik pidana maupun perdata.
Tinggalkan Balasan