Sepulang sekolah, Ismail harus membantu ibunya menjajakan pisang goreng dan roti keliling kampung. Tak jarang, ke sekolah pun ia membawa dagangan ibunya.
“Ayah saya adalah seorang tukang di penggalangan kapal, yang kita tahu sendiri saat itu pendapatannya berapa. Sejak masih sekolah aktivitas saya hanya membantu ibu saya, untuk membawa jualan pisang goreng dan roti keliling kampung. Jadi semenjak sekolah, setiap pulang sekolah, biasanya orang lain luangkan untuk istrahat, tapi saya tidak. Saya harus berjualan keliling, dan itu bisa ditanyakan ke orang yang hidup semasa saya saat itu di Kelurahan Toloa,” kisah Ismail.
Tumbuh di keluarga yang sederhana tidak menyurutkan semangat pria kelahiran 28 November 1971 itu untuk melanjutkan perkuliahan. Ismail berpegang teguh pada pesan orangtuanya, bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum itu sendiri tidak mengubahnya.
“Karena dari susah itu saya bisa termotivasi. Saya berniat agar tidak harus bekerja di penggalangan kapal seperti orangtua saya juga. Saya harus lebih baik. Semua ini tergantung motivasi dan niat kita untuk menjadi lebih baik lagi. Intinya kita harus mampu mengubah nasib kita sendiri,” jelas sulung dari 7 bersaudara ini.
Setelah lulus dari SMA, Ismail kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di perguruan tinggi Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon. Ia mengambil jurusan IPS Sejarah di tahun 1991.
Ismail mengenyam pendidikan di perguruan tinggi selama 6 tahun. Pada tahun 1998, ia diangkat menjadi seorang tenaga pendidik di salah satu sekolah di Desa Ekor, Kecamatan Wasile, Kabupaten Halmahera Timur.
Tinggalkan Balasan