“Kalau pala yang retak, disebut sebagai pala alfatosking (pala hancur),” ungkapnya.

“Sementara, torang (kami) di Tidore ketika memisahkan fuli dari palanya kebanyakan orang tono (rendam) dengan air hangat supaya fulinya lombo (lembut), kemudian baru buka fuli. Bahkan mereka menggunakan minyak tanah untuk direndam. Akan tetapi proses itu membuat fuli pala cepat rusak dan tidak berkualitas.”

“Kalau fulinya sudah dibuka, buah pala didiamkan di satu ruangan tertutup tanpa ada cahaya selama tiga hari tiga malam. Kalau buah pala langsung dijemur, dan mendapat sinar matahari terlalu kuat, maka pala tersebut mudah retak,” jelasnya.

Dalam beberapa bulan lalu, Indonesia bahkan Maluku Utara mendapat penyakit Covid-19, sehingga sampai saat ini Ukhye masih fokus membeli pala di Kecamatan Tidore Utara.

“Salah satu kelompok anak muda yang menjalankan usahanya sebagai pembeli pala, tetapi banyak warga belum mengenal kami sebagai pembeli pala, baik secara lisan maupun lewat media sosial, seperti Facebook, Instragam, dan lainnya.”

Berkaitan dengan harga pala, sebagai pembeli pala, Ukhye mengaku tetapi mengikuti harga pasar.

“Bahwa yang kami pantau setiap saat, harganya tidak menetap, karena harga naik turun pala  dalam seminggu tetap saja berubah.”

“Harga pala yang kami beli di angka Rp 80 ribu. Itupun tergantung peminat konsumen ingin menjual. Harga pala bisa jatuh, salah satunya adalah akibat dari musim. Yang terjadi di Maluku Utara, apabila tiba musim panen pala, harganya jatuh diakibatkan banyaknya pala yang tertumpuk, karena panen tidak mengikuti proses dari awal,” tutur Ukhye.

Sedangkan pala yang dibelinya rata-rata jenis AB berkisar 1 ton dengan harga Rp 80 ribu. Jenis pala SS harganya mulai dari angka Rp 200-300 ribu per kg. Begitu pun harga fuli berbanding satu di angka Rp 235 ribu per kg, karena biji pala 3 kg beserta fuli 1 kg bila fulinya agak tebal.