Untuk wilayah Pulau Tidore, jatah minyak tanah per bulan sekitar 300 ton lebih, sementara di wilayah Oba sekitar 170 ton lebih.
“Masalah kelangkaan ini ada di jatah. Jatah itu sudah terbagi habis. Setiap pangkalan itu disalurkan sekali dalam sebulan, dan setiap pangkalan yang ada di kelurahan itu hanya terima jatah per bulan 1 ton lebih saja,” beber Awat.
Ia mengaku, pada akhir 2020 setelah aktivitas ekonomi mulai berjalan normal, penyerapan minyak tanah paling banyak ditemukan pada nelayan dan jasa transportasi.
“Kalau jatah yang disalurkan untuk kebutuhan rumah tangga itu masih tercukupi,” katanya.
Awat berujar, penyaluran jatah minyak tanah ke pangkalan yang melayani jasa transportasi laut berbeda-beda. Seperti halnya pangkalan yang berada di Pelabuhan Rum dengan jatah diterima sebanyak 60 ton per bulan, Pelabuhan Sarimalaha sebanyak 35 ton, serta Pelabuhan Tokichi 15 ton.
Awat mengaku sudah berupaya mengajukan permohonan penambahan jatah. Namun permohonan itu belum direspon Pertamina.
“Kami berencana akan mendata kembali jumlah penduduk termasuk di dalamnya jumlah warga yang bermata pencaharian sebagai nelayan serta jumlah jasa transportasi. Data ini nanti kami koordinasikan dengan Pertamina kaitannya dengan permohonan penambahan jatah,” terangnya.
Selain itu, pada tahun 2021 ini harga eceran minyak tanah per liter juga mengalami kenaikan.
“Ada kenaikan dari Rp 4 ribu jadi Rp 4.500 per liter. Ini berlaku sama, baik warga maupun jasa transportasi,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan