Di sisi lain, perjalanan dinas luar daerah Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2019 juga menunjukkan angka yang begitu besar. Dimana biaya perjalanan untuk Wali Kota senilai Rp 2.560.000.000 (realisasi Rp 2.367.689.317), sementara Wakil Wali Kota sebesar Rp 2.000.000.000 (realisasi Rp 1.703.824.700.

“Jika realisasi anggaran perjalanan baik dalam maupun keluar daerah sebesar itu maka kami pastikan dalam satu tahun anggaran Wali Kota dan Wakil Wali Kota sudah tidak berkantor karena telah menghabiskan waktu hanya untuk urusan perjalanan,” terangnya.

Selain itu, F-PKB juga mengungkapkan adanya belanja sewa transportasi darat dan air untuk Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yakni darat sebesar Rp 800 juta lebih dan air senilai Rp 900 juta.

“Hal ini menunjukkan bahwa terjadi dobel anggaran sebab dalam biaya perjalanan dinas sudah termasuk sewa transportasi di dalamnya. Lagipula, item tersebut tidak tercantum dalam dokumen APBD Kota Tikep tahun 2019 namun pada laporan realisasi Pansus LPP menemukan item belanja tersebut,” beber Murad.

“Jika benar anggaran sebanyak itu dianggarkan untuk sewa transportasi maka alangkah baiknya kita mengkonversi anggaran tersebut untuk pengadaan speedboat yang justru pembiayaannya lebih murah dibandingkan dengan pembiayaan mobilitas darat dan air. Sayangnya ketika masalah ini dipersoalkan, Pemerintah Daerah tidak mampu mempertangungjawabkan hal tersebut di hadapan Pansus LPP,” ungkapnya.

Selain itu, Murad menegaskan, F-PKB juga menemukan adanya kejanggalan pada tunjangan beban kerja di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).

“Pada BPKAD sendiri terindikasi dobel tunjangan sehingga ASN yang memiliki golongan paling rendah nonjabatan sekalipun memiliki tunjangan sebesar Rp. 3.000.000 per bulan. Bahkan jabatan setingkat kepala badan jika diakumulasikan maka tunjangannya mencapai angka Rp 15 juta per bulan. Yang menjadi sorotan kami adalah dari mana sumber pembiayaan untuk pos tersebut dan bagaimana sehingga tunjangan tersebut hanya ada pada BPKAD, tidak untuk pegawai di instansi lainnya?” tandasnya.

Selain itu, lanjut Murad, belanja lain yang patut disoroti adalah belanja pembangunan Jalan Lingkar Maitara yang pada tahun 2019 dialokasikan sebesar Rp 8,9 miliar.

“Itu artinya untuk jalan lingkar Maitara Pemerintah Daerah sudah menghabiskan anggaran puluhan miliar. Pertanyaan kemudian adalah, dimana sisi urgensitasnya sehingga pembangunan tersebut harus dilakukan? Selain itu, sejauh ini pada dampak yang diberikan pembangunan tersebut, baik yang dirasakan masyarakat maupun income yang diperoleh Pemerintah Daerah atas dana sebesar itu yang telah digelontorkan,” tuturnya.

Sementara di sektor pendapatan daerah, terdapat sejumlah OPD yang belum mengoptimalkan sumber-sumber PAD baik pengelolaan maupun lemahnya pengawasan di lapangan. Sebab banyak terjadi kebocoran pada penarikan PAD.

“Untuk Dinas Perhubungan misalnya, terdapat temuan pada retribusi kurang lebih Rp 200.000.000 yang juga pada tahun 2019 terdapat temuan Rp 500 juta lebih,” tambahnya.

Murad menegaskan, dengan berbagai permasalahan di lapangan, F-PKB meragukan opini Wajar Tanpa Pengecualiaan (WTP) yang disematkan BPK terhadap pengelolaan keuangan Pemerintah Kota Tikep tahun 2019.

“Dan sesuai amanat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal (21) poin (3), maka kami meminta kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Tidore Kepulauan Tahun 2019. Untuk itu, setelah mencermati laporan hasil pembahasan Panitia Khusus LPP APBD Tahun 2019 maka dengan berat hati belum menerima Ranperda LPP APBD Tahun 2019 menjadi Perda,” tandasnya.