Tandaseru – Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku Utara, Imam Makhdy Hassan angkat bicara terkait sorotan Komisi IV DPRD Provinsi (Deprov) Malut.

Kepada tandaseru.com, Imam Makhdy mengungkapkan salah satu persoalan utama pendidikan di Malut adalah data guru yang masih semrawut. Persoalan ini, kata dia, sudah berlangsung lama dari tahun ke tahun.

“Memang kompleks soal pendidikan di Malut. Data guru, misalnya, dimasukkan dari masing-masing sekolah melalui Dapodik (Data Pokok Pendidikan, red). Yang bertugas memasukkan data adalah operator. Di daerah, satu operator bisa melayani hingga lima sekolah. Otomatis butuh waktu yang tidak singkat untuk meng-input data,” jabarnya, Kamis (18/6).

Kompleksnya persoalan data ini juga diikuti dengan minimnya anggaran bagi Diknas untuk mengirim pengawas ke lapangan. Pasalnya, sebagian anggaran dialihkan untuk penanganan Covid-19.

“Kondisi Covid-19 sendiri juga membuat kami tidak berani menurunkan staf ke pelosok-pelosok. Jadi memang butuh waktu, dan ini yang tengah kami fokuskan saat ini, yaitu perbaikan data di internal. Kerja tanpa data adalah omong kosong,” tukasnya.

“Sementara Cabang Diknas di kabupaten/kota hingga saat ini tidak punya tupoksi. Maka kami bijaki sebagian tugas Diknas dialihkan ke Cabang Diknas sebagai perpanjangan tangan yang berhadapan langsung dengan masyarakat,” tambahnya.

Imam Makhdy juga bilang, tunggakan upah honorer selama empat bulan di tahun 2019 telah dibayarkan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD). Namun upah pada 2020 yang belum terbayar ia minta ditanyakan ke DPKAD.

“Kami Diknas hanya mengajukan permohonan. Bayar tidaknya tergantung anggaran di DPKAD ada atau tidak. Selain itu, upah honorer juga dibayar berdasarkan laporan pihak sekolah soal kinerja masing-masing guru, karena mereka yang mempekerjakan,” terangnya.

Mantan Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Malut ini mengakui, kepala sekolah memang bisa mengganti guru honorer. Dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, kepala sekolah lah yang meng-SK-kan mereka.

“Jadi bukan SK dari dinas. Ini juga yang membuat kadang seseorang statusnya honorer tapi tidak bisa diupah seperti yang lainnya karena tidak pernah mengajar, misalnya. Di desa-desa kadang ada kepala sekolah yang mengajak ponakannya, misalnya, jadi honorer tapi tidak bekerja sesuai tupoksi,” akunya.

Imam Makhdy pun meminta dukungan dari Komisi IV terkait penganggaran untuk melancarkan tugas-tugas Diknas mengurus dunia pendidikan Malut. Sebab selama ini, anggaran yang dialokasikan lebih pada monitoring dan evaluasi.

“Sementara untuk sosialisasi tidak ada. Karena itu kami minta dukungan semua pihak, sebab masalah pendidikan ini tanggung jawab bersama. Saya apresiasi masukan dari Komisi IV dan kapanpun dipanggil untuk koordinasi kami selalu siap,” tandas Imam Makhdy yang baru dilantik Maret lalu ini.