Oleh: Rahwan K. Suamba

Fasilitator Perpustakaan Provinsi Maluku Utara

 

“Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial adalah perpustakaan yang memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan potensinya dengan melihat keragaman budaya, kemauan untuk menerima perubahan, serta menawarkan kesempatan berusaha, melindungi dan memperjuangkan budaya dan Hak Asasi Manusia,”

–Paul Sturges, 2004, dalam Understanding Cultures, and IFLA’s Freedom of Access to Information and Freedom of Expression (FAIFE) Core Activity–

 

TANGGAL 17 Mei 2020 adalah Hari Ulang Tahun Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang ke-40. Sejak ditetapkan sebagai hari besar pada tanggal 17 Mei 1980 lalu, Perpustakaan Nasional terus mengabdikan diri membangun karakter bangsa dengan ikut mencerdaskan anak negeri melalui berbagai program dan kegiatan literasi.

Perpustakaan sebagai penyedia bahan bacaan untuk masyarakat terus berbenah diri. Dengan berkembangnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Perpustakaan dituntut untuk terus melakukan transformasi pelayanan.

 

Mengapa bertransformasi?

Sejak tahun 2019 lalu, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia melalui berbagai kajian terhadap pola pengembangan perpustakaan di indonesia. Hal tersebut dilakukan seiring berkembangnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) seperti internet, gadget dan teknonogi lainnya, sebagian pemustaka telah mengalihkan aktivitas membaca melalui fasilitas tersebut sehingga perpustakaan mengalami penurunan jumlah kunjungan. Perpustakaan Nasional menyimpulkan bahwa perlu melakukan transformasi layanan, maka lahirlah konsep “Tranformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial”.

Lahirnya konsep transformasi perpustakaan bertujuan agar terciptanya masyarakat sejahtera, meningkatkan penggunaan layanan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan membangun komitmen dan dukungan stakeholders untuk transformasi Perpustakaan yang berkelanjutan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Perpustakaan meletakkan sasaran dari program transformasi Perpustakaan tidak hanya diarahkan kepada anak sekolah, tapi masyarakat secara umum seperti pemuda, perempuan, dan juga pelaku usaha mikro/kecil, termasuk juga kelompok marginal lain yaitu penyandang disabilitas sebagai upaya pemberdayaan dan dapat meningkatkan produktifitas.

Maka perspektif Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial mengacu pada tiga hal yakni Customer Perspective, Stakeholder and Internal Process Perspective dan Learning and Growth Perspective. Customer Perspective yakni meningkatkan kebermanfaatan Perpustakaan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Stakeholder and Internal Process Perspective yakni meningkatkan sinergitas antarperan Perpustakaan di pusat, daerah, kementerian/lembaga dalam pembangunan masyarakat. Sementara Learning and Growth Perspective yakni meningkatkan sumber daya, koleksi, tenaga, anggaran, sarana dan prasarana Perpustakaan.

Strategi utama pengembangan Perpustakaan adalah peningkatan layanan informasi melalui buku, komputer, dan internet di Perpustakaan, memfasilitasi kegiatan-kegiatan untuk menjawab kebutuhan masyarakat dengan mengoptimalkan penggunaan informasi di Perpustakaan, serta melakukan advokasi dan membangun kemitraan untuk membangun dukungan keberlanjutan transformasi Perpustakaan.

 

Literasi untuk Kesejahteraan?

Literasi merupakan hak dan memberikan manfaat yang nyata, yang didapat melalui pendidikan sekolah maupun program Adult Literacy (Literasi untuk Orang Dewasa). Pada tahun 2016, UNESCO menyatakan Program Literasi untuk Orang Dewasa muncul untuk menghasilkan beberapa manfaat, khususnya membangun Self Esteem (kepercayaan diri) dan Empowerment (pemberdayaan).

UNESCO Institute for Lifelong Learning Policy Brief 6–2016 menyerukan untuk menggunakan Perpustakaan dalam mendukung upaya literasi nasional serta pengembangan dan keberlanjutan kemampuan literasi merupakan pembelajaran sepanjang hayat.

Saat ini, lebih dari 55% orang Indonesia yang menyelesaikan pendidikannya adalah functionally illiterate. Functionally illiterate diartikan kurangnya kemampuan membaca dan menulis untuk mengelola kehidupan sehari-harinya dan pekerjaannya yang membutuhkan kemampuan membaca yang melebihi tingkatan dasar. Masyarakat Indonesia yang functionally illiterate cenderung berakhir di sektor-sektor pekerjaan dengan produktivitas rendah.

 

Transformasi Perpustakaan di Maluku Utara

Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial di Provinsi Maluku Utara juga telah dilaksanakan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Halmahera Barat di empat Perpustakaan Desa dan Kabupaten Halmahera Utara dengan lima Perpustakaan desa. Pada tahun 2020 ini, Perpustakan Nasional telah melebarkan konsep Tranfomrasi Perpustakaan ke tiga kabupaten baru yaitu Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Pulau Morotai.

Kita berharap Perpustakan Daerah (Perpusda) dan Perpustakaan Desa (Perpusdes) baru akan mampu mengembangkan Konsep Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial dengan baik, semoga.(*)