Tandaseru — Kriminalisasi terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara, merupakan salah satu contoh nyata dari pergeseran fungsi hukum dalam masyarakat ekstraktif.
Hal ini diungkapkan Front Mahasiswa Maluku Utara Pro Warga Maba Sangaji (Format-Praga) dalam unjuk rasa di Mabes Polri dan Kejaksaan Agung RI di Jakarta, Jumat (8/8/2025).
Koordinator Lapangan Format-Praga, Alfian Sangaji, menyatakan, alih-alih menjadi instrumen keadilan dan pelindung hak rakyat, hukum justru digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kepentingan modal melalui represi terhadap warga yang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya.
“Penetapan 11 warga Maba Sangaji sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara adalah potret telanjang bagaimana aparat hukum hari ini berdiri sebagai perpanjangan tangan korporasi, bukan sebagai pelindung rakyat. Di tengah perjuangan warga mempertahankan tanah adat dari aktivitas tambang yang merusak lingkungan serta diduga merupakan bagian dari praktik ilegal mining, Polda Malut justru diduga mengkriminalisasi para korban,” ungkap Alfian.
Ia menegaskan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah seharusnya bertindak tegas, segera memanggil dan mengevaluasi Kapolda.
“Bagi kami, terlalu terang bahwa terdapat dugaan keberpihakan institusi ini kepada
kepentingan pemodal, bukan kepada keadilan. Jika institusi Polri ingin menjaga sedikit saja kehormatan di mata rakyat, maka pembiaran terhadap pelanggaran ini
tidak boleh dilanjutkan. Hentikan kriminalisasi, tarik aparat dari konflik rakyat versus tambang, dan tindak tegas mereka yang menyalahgunakan kewenangan,” tegasnya.
Menurut Alfian, negara tidak boleh tunduk kepada kekuasaan korporasi tambang. Aparat tidak boleh menjadi alat yang dikendalikan korporasi.
“Kasus ini terjadi di tengah operasi tambang nikel oleh PT Position, yang ditengarai telah melakukan berbagai pelanggaran administratif dan hukum, termasuk dugaan penambangan di luar wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP), perusakan kawasan hutan tanpa izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), dan pencemaran
lingkungan,” paparnya.
“Alih-alih menindak korporasi, aparat penegak hukum justru menangkap dan menetapkan 11 warga sebagai tersangka
dengan tuduhan premanisme dan menghalangi operasi tambang berizin,” sambung Alfian.
Padahal, sambungnya, Pasal 28H UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta tempat tinggal yang layak. Aktivitas PT Position yang menggusur lahan dan menggunduli hutan tanpa konsultasi publik serta persetujuan masyarakat adat adalah bentuk pelanggaran hukum lingkungan dan hak kolektif masyarakat adat.
“Sementara warga ditangkap dan diproses hukum secara cepat, pelanggaran oleh PT Position justru belum mendapat tindakan serius dari aparat. Ini mencerminkan wajah hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas bertentangan dengan asas keadilan dan kesetaraan di depan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945,” jabarnya.
“Kritik yang perlu dilayangkan terkait penggunaan Pasal 162 UU Minerba terhadap warga penolak tambang yang dianggap ‘menghalangi kegiatan pertambangan berizin’ telah kerap dijadikan dalih untuk membungkam protes rakyat. Padahal, protes terhadap pelanggaran lingkungan dan ancaman terhadap ruang hidup adalah hak konstitusional, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat’,” imbuh Alfian.
Selain Pasal 162 UU Minerba, Alfian berujar, Polda Maluku Utara juga menerapkan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terkait senjata tajam terhadap 11 warga Maba Sangaji. Penggunaan undang-undang ini dinilainya sangat tidak proporsional dan cenderung mengada-ada.
“Dalam konteks masyarakat adat yang hidup di wilayah pegunungan dan hutan, membawa alat seperti parang adalah bagian dari aktivitas keseharian dan subsistensi, bukan bentuk ancaman atau kekerasan. Penerapan pasal ini bukan hanya cacat secara substansi, tetapi juga memperlihatkan upaya sistematis untuk mereduksi makna protes warga adat menjadi tindakan kriminal. Padahal yang sedang terjadi adalah perlawanan atas perampasan ruang hidup, bukan kejahatan yang membahayakan negara,” tukasnya.
Ia menyatakan, UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 sendiri lahir harus dipahami dalam konteks politik yang sangat berbeda, yaitu masa pasca-revolusi kemerdekaan, dan seharusnya tidak lagi digunakan secara serampangan dalam konteks demokrasi hari
ini. Penggunaan pasal ini menunjukkan kemunduran cara pandang aparat hsusunya Polda Maluku Utara terhadap hak rakyat dalam menyuarakan keberatan, serta merupakan bentuk kriminalisasi yang terang-terangan terhadap masyarakat adat.
“Hal ini juga memperkuat dugaan bahwa proses hukum terhadap 11 warga tidak bertujuan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk membungkam perlawanan dan melindungi kepentingan korporasi tambang. Maka sangat penting untuk mengoreksi penggunaan pasal-pasal represif warisan masa darurat ini dari sistem hukum kita, agar tidak terus digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menekan warga yang berjuang mempertahankan haknya. Lagian sejak kapan perusahaan tambang yang beroperasi itu punya tanah? Yang ada datang berinvestasi, menawarkan penjualan tanah terhadap rakyat dengan harga murah agar bisa dibeli pemilik tambang,” cecarnya.
Alfian juga menyinggung dokumen resmi Gakkum Kehutanan (Surat Tugas Nomor ST.136/GakkumHUT.II/GKM.01.03/TU/B/2025)
yang memperlihatkan bahwa PT Position patut diduga melakukan praktik ilegal mining. Jika benar, maka negara seharusnya mencabut izin perusahaan tersebut. Namun hingga kini belum ada proses hukum signifikan terhadap korporasi.
“Kami juga mendesak Kejaksaan Agung dan Mabes Polri untuk mengusut potensi kerugian negara yang diperkirakan mencapai hampir Rp 10 triliun akibat aktivitas tambang ini. Kasus ini adalah cerminan dari fenomena state capture ketika kebijakan negara dikendalikan oleh segelintir elite ekonomi dan politik. Warga yang mempertahankan ruang hidup diperlakukan sebagai ancaman, sementara korporasi perusak lingkungan justru dilindungi sebagai investor,” ujarnya.
“Inilah saat ketika hukum berhenti menjadi alat keadilan, dan berubah menjadi instrumen kekuasaan yang membungkam rakyat. Tindakan aparat dalam kasus ini jelas tidak mencerminkan prinsip keadilan. Pertanyaannya, mengapa dugaan pelanggaran hukum oleh PT Position tidak diusut oleh Mabes Polri? Kriminalisasi terhadap 11 warga adalah bentuk pelanggaran hak atas tanah, lingkungan, dan kebebasan berekspresi. Lebih parah lagi, sidang dilakukan secara virtual tanpa alasan yang kuat. Tidak ada situasi darurat seperti pandemi, bencana alam, atau kerusuhan yang membenarkan sidang virtual. Ini menjadi kejanggalan paling lucu dan tragis dalam proses hukum terhadap warga adat Maba Sangaji. Sidang virtual yang tanpa alasan objektif membuka kemungkinan bahwa ini adalah upaya untuk membatasi akses publik dan media, serta menutup transparansi proses hukum,” tandas Alfian.
Format-Praga pun menyatakan sikap dan tuntutan sebagai berikut:
- Bebaskan 11 Warga Adat Maba Sangaji tanpa syarat
- Hentikan seluruh aktivitas tambang PT Position. Lakukan audit investigasi khusus dan cabut izin perusahaan
- Desak Kejaksaan Agung melakukan supervisi dan mengawal langsung proses persidangan di Pengadilan Negeri Soasio Tidore Kepulauan, agar proses hukum berlangsung adil dan transparan. Sidang virtual telah menutup ruang partisipasi publik
- Desak Kapolri menyelidiki dugaan keterlibatan aparat dalam mendukung aktivitas illegal mining
- Lindungi hak masyarakat adat dan perkuat posisi hukum masyarakat lokal dalam menghadapi investasi ekstraktif yang merampas ruang hidup.
Tinggalkan Balasan