Oleh: Asmar Hi. Daud

Akademisi FPIK Unkhair

Tahun 2025 menjadi tahun pengkhianatan diam-diam terhadap ruang hidup rakyat. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) membeberkan angka mengejutkan: 254 pulau kecil di Indonesia telah jatuh ke tangan privat—lewat skema yang disebut legal, tapi sejatinya adalah bentuk baru kolonialisme ekonomi. Mulai dari penyewaan jangka panjang, izin usaha tambang dan pariwisata, hingga transaksi jual beli terselubung. Negara tahu, tapi bungkam. Pemerintah ada, tapi absen.

Maluku Utara berada di puncak daftar: 84 pulau telah diprivatisasi. Ya, 84! Di provinsi yang mestinya jadi etalase kedaulatan maritim, justru negara menanggalkan mandatnya dan menyerahkannya pada investor. Di Jakarta, pulau-pulau reklamasi dibungkus jargon pembangunan, padahal itu hanyalah proyek eksklusif untuk segelintir elit. Sementara di Kepulauan Widi—lebih dari 80 pulau kecil ditawarkan oleh korporasi asing, tanpa sepotong pun suara rakyat lokal didengar. Pemerintah daerah? Lebih sibuk menggelar karpet merah untuk investor daripada menjaga tanah airnya sendiri.

Privatisasi bukan sekadar jual beli tanah. Ini adalah perampasan yang disahkan, penindasan yang dilegalkan. Wajahnya bisa tambang, bisa resort mewah, bisa zona ekonomi eksklusif. Tapi hakikatnya satu, yakni: ruang hidup rakyat dilucuti, akses ke laut dibatasi, dan sumber daya dialihkan kepada pemilik modal.

Regulasi? Ada. Tapi tumpul. Permen KP No. 8/2019 dan UU No. 1/2014 jelas melarang penguasaan daratan pulau kecil oleh swasta lebih dari 70%. Namun di lapangan, aturan hanya jadi etalase hukum tanpa taring. Direkayasa, disiasati, dijadikan tameng untuk menjustifikasi perampokan yang sistematis.

Kita sedang hidup di negara yang pura-pura tidak tahu bahwa kedaulatannya tengah dijual.

Pulau-pulau kecil bukan sekadar gugusan tanah di laut. Mereka adalah benteng terakhir nelayan, ruang bertahan masyarakat adat, dan episentrum keragaman hayati laut. Tapi semua itu dikorbankan atas nama investasi. Ketika laut dan pulau dijadikan properti privat, yang hancur bukan hanya ekologi, tapi martabat negara.

Maluku Utara menjadi episentrum bukan karena rakyatnya lemah, tapi karena pemerintahnya memilih tunduk. Investasi menjadi dalih untuk mengabaikan suara masyarakat. Kandungan nikel, emas, dan mangan menjadi alasan untuk mengkhianati kearifan lokal. Dan letak geografis yang terpencil digunakan sebagai celah untuk menyembunyikan ketidakadilan.

Privatisasi adalah penjajahan

Ketika negara tidak bisa menjamin akses rakyat terhadap laut dan pulaunya sendiri, maka pembangunan kehilangan legitimasi moral. Ini bukan pembangunan—ini adalah penggusuran yang dibungkus diplomasi investasi.

Negara harus disadarkan. Tidak cukup dengan retorika “poros maritim dunia” jika faktanya pulau-pulau dijual satu per satu kepada asing. Tidak cukup dengan pidato-pidato tentang keadilan sosial jika rakyat pesisir terusir dari tanah kelahirannya sendiri.

Pada titik ini kami menuntut Negara:

Audit nasional terhadap semua izin pemanfaatan pulau kecil.

Moratorium total terhadap privatisasi.

Pengakuan resmi atas hak kelola masyarakat adat dan komunitas pesisir.

Jika negara terus tidak peduli, maka rakyatlah yang harus menjadi benteng terakhir. Jangan biarkan negeri kepulauan ini terus kehilangan tuan di tanahnya sendiri.