Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
________
“Di tetangga, kita berbagi kebahagiaan, ketulusan, suka cita hingga duka cita. Di kiosnya orang kampung kita juga sama, sangat mungkin zakat perniagaannya ditunaikan di kampungnya. Dan keluarga kita di kampung, mungkin adalah satu diantaranya yang ikut merasakan manfaat zakatnya itu. Sederhana dan logis. Ini urusan prioritas bukan soal mentalitas kampungan”
SEMALAM, di “Soadara Sharing Group”, sebuah WAG komunitas kami, ada anggotanya yang berulang tahun. Ini diketahui saat dikirimi pesan dan ucapan selamat disertai doanya dari Surabaya oleh salah satu keluarganya.
Saya mengirim pesan hingga mengomentari dengan sedikit membatin, rada emosional, disertai emoji sedang memanjatkan doa, “orang yang bermanfaat bagi banyak orang, perlu didoakan untuk selalu sehat dan panjang usianya”.
Semua kita punya waktu dan hari yang mungkin dipandang spesial dan sangat perlu diabadikan. Momentum itu bisa di ulang tahun pernikahan, di ulang tahun kematian anggota keluarga, wisuda di jenjang pendidikan tertentu, dan lain-lain. Tetapi yang paling dianggap istimewa dan selalu jadi momentum yang paling ditunggui adalah hari ulang tahun kelahiran, karena kita yang masih hidup, pernah lahir. Anak-anak sekarang menyebutnya HBD. Buah hati kami, bahkan sering rela untuk menahan kantuk yang hebat dan bersibuk-sibuk hanya untuk menampilkan kejutan-kejutan kecil dan mengharukan saat ayah dan ibu mereka berulang tahun.
Apapun itu, hari ulang tahun kita, hanyalah “penanda”. Penanda tentang banyak hal. Dia adalah media merefleksikan perjalanan hidup, dia memberi tahu kita tentang dimensi waktu yang di lalui untuk menjadi tua, bahkan hingga memberi isyarat tentang kematian, akhir kehidupan. Setiap kita, di pesan untuk menarik pelajaran dan memaknai bertambahnya usia sebagai sebuah kenyataan mawas diri, lampu kuning di traffic light, menimbang-nimbang tentang kadar perbuatan baik dan dosa dan merenungi hari pembalasan kelak. Jika traffic light mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan bahaya kecelakaan lalu lintas di jalan raya, maka momentum hari kelahiran harus mengingatkan kita tentang “kecelakaan” dalam sejarah hidup dan kehidupan, minimal hingga saat ini. Kecelakaan itu bisa bermakna lalainya kewajiban terhadap Sang Khalik, mengambil yang bukan hak kita, suka menzalimi orang lain, minim bersedekah dan meyantuni anak yatim dan kaum fakir, juga serakah dan rakus dalam urusan dunia. Saya sering membatin ketika berulang tahun. Rasanya seperti menggantung di horison, “harap-harap cemas”. Membayangkan berbagai hal. Dari bekal diri di usia senja begini, kala kelak menghadap Sang Khalik, hingga “nasib” anak-anak kelak sepeninggal kita.
Lalu, yang berulang tahun tadi siapa? Dia adalah Hi. Awat Hi. Ahmad. Kerap disapa Haji Awat. Nama ini cukup familiar di Tidore, hingga Maluku Utara. Dia “raja minyak” di Tidore, dan salah satunya di Maluku Utara. Usahanya distribusi beberapa produk BBM Pertamina, punya kapal pengangkut BBM, unit SPBU, hingga truk tanki untuk distribusi BBM. Lama saya menanti “celah” untuk bisa menulis tentang sosoknya. Dan celah itu baru datang semalam di WAG tadi.
Orangnya tipikal kalem, tenang tapi punya feeling bisnis yang kuat. Mengundurkan diri dari ASN puluhan tahun lalu dan banting stir memulai usaha ini, dan bisa dibilang cukup sukses, itu parameternya.
Apa hubungan kiprahnya dengan komentar saya di atas? Begini, di keluarga ataupun di kampung kita, pasti ada sosok ataupun figur tertentu yang dihormati dan dihargai lebih. Itu lumrah. Apalagi itu pada komunitas yang relatif homogen. Itu jamak terjadi. Umumnya, itu karena ada variabel pengungkit yang dipandang hingga dirasakan bahwa kehadiran mereka mereka ini, memberi manfaat bagi banyak keluarga dan banyak orang. Dan tentu saja, saya tak akan menulis manfaat apa yang sering dirasakan dari kahadiran seorang Haji Awat di kampungnya. Tak mengisik niat dibaliknya.
Siapa saja orang-orang di kampung itu? Bisa saja mereka adalah taman masa kecil kita, yang sempat berbagi “air liur” dari sepotong “sagu kasbi”, ataupun pisang rebus yang di makan bersama, mereka yang sempat menolong ketika kita terjatuh akibat nakal, mereka yang sempat menggendong dan membelai di saat balita, di “spasi kesadaran”, dan lain-lain.
Sosoknya sederhana, penyantun dan tulus. Saking tulus, bersih hati dan mudahnya percaya pada siapa saja, tak jarang beliau “ditelikung”. Saya sering mengingatkannya soal-soal begini. Bukan apa-apa. Bagi saya, beliau adalah “aset”, minimal aset kami di kampung yang perlu di jaga bersama. Alasannya di potongan komentar saya tadi. Kesehariannya “biasa-biasa saja”. Biasa bersantai minum kopi, cerita lepas hingga bersenda gurau dengan siapa saja dan di mana saja. Tak mengesankan punya kekayaan yang cukup juga.
Saya sering mengingatkan sang istri, andai tak ada pertimbangan yang “luar biasa”, berbelanjalah di kios tetangga ataupun orang kampung kita. Mereka adalah orang-orang paling dekat dengan kita, dan paling mungkin berbagi kebahagiaan dan suka cita.
Di tetangga, kita berbagi kebahagiaan, ketulusan, suka cita hingga duka cita. Di kiosnya orang kampung kita juga sama, sangat mungkin zakat perniagaannya ditunaikan di kampungnya. Dan keluarga kita di kampung, mungkin adalah satu diantaranya yang ikut merasakan manfaat zakatnya itu. Sederhana dan logis. Ini urusan prioritas bukan soal mentalitas kampungan.
Hidup ini, memang penuh trik dan intrik, penyesalan dan nasib baik. Juga momentum hingga hidayah-Nya. Di tengah semua itu, kita hanya bisa berupaya dan berikhtiar. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan