Oleh : Imanuel R. Balak, S.H
Advokat
_______
AKHIR-akhir ini publik Indonesia dihebohkan dengan adanya aksi salah satu oknum yang menodong seorang supir online dengan pistol alias senjata api (senpi). Diketahui tindakan yang tidak terpuji itu terjadi dilatarbelakangi oleh serempetan jalan antara pelaku dan korban pada saat korban pindah jalur dari jalan tol. Oknum yang diketahui bernama David Yulianto marah-marah, mengeluarkan kata makian, menodongkan pistol, dan juga melakukan pemukulan beberapa kali terhadap diri korban.
Dalam case tersebut penyidik Polda Metro Jaya melihat case ini tidak cermat, sehingga bagi hemat penulis, ada beberapa hal yang kurang dalam penanganan perkara tersebut, tentu ini logika hukum yang prematur. Sebut saja terjadi kekeliruan dalam penerapan pasal. Kekeliruan itu dapatlah dijumpai dalam penerapan pasal terhadap case ini. Sebagai informasi, penyidik menggunakan Pasal 352 KUHP, jo Pasal 335 KUHP dan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No 12 Tahun 1951. Akan tetapi perlu diingat bahwa untuk membangun suatu konstruksi pasal dalam merumuskan suatu delik hukum, fakta menduduki posisi yang begitu amat penting, apalagi dalam case pidana. Sementara fakta menunjukkan seharusnya ada pasal lain yang wajib ditambahkan oleh penyidik Polda Metro Jaya kaitannya dengan case ini.
Mengenai penerapan pasal yang digunakan penyidik Polda Metro Jaya untuk menetapkan David Yulianto si koboi jalanan sebagai tersangka sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, memang patut disadari bahwa penyidik sama sekali tidaklah cermat atau keliru dalam menerapkan pasal terhadap case tersebut. Kita tentu mengetahi Pasal 352 KUHP itu delictsbestanddelen-nya adalah soal penganiayaan ringan, sementara Pasal 335 KUHP, delictsbestanddelen-nya adalah berkaitan dengan perbuatan tidak menyenangkan/pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013, serta Pasal 1 ayat (1) UU Darurat delictsbestanddelen-nya adalah Kepemilikan Senjata Api tanpa Izin. Perlu untuk kita ketahui bahwa hukum pidana itu mencari dan menemukan kebenaran materiil, atau kebenaran yang sebenarnya. Tegasnya, kebenaran dalam hukum pidana itu didapatkan pada fakta-fakta yang kemudian terjadi.
Menurut hemat penulis, harusnya dalam case ini diterapkan pula pasal mengenai pemalsuan. Kenapa harus demikian? Karena fakta menunjukkan bahwa pemalsuan terjadi yakni pelat dinas palsu yang digunakan oleh pelaku pada unit kendaraan roda empat Mazda tersebut. Dalam konteks pidana ini adalah merupakan suatu dolus kesengajaan sebagai maksud untuk melakukan suatu tindak pidana. Lebih lanjut dalam kesengajaan itu menyaratkan dua hal prinsip Wittens and willens (mengetahui dan menghendaki). Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pelaku menyadari bahwa nopol dinas palsu yang digunakan adalah tidak sesuai dengan nopol yang sebenarnya, namun pelaku menghendaki perbuatan itu terjadi. Oleh sebab itu terlihat jelas yang harusnya dimasukkan untuk melengkapi pasal-pasal yang telah dterapkan dalam case ini adalah Pasal 263 KUHP, dimana delictsbestanddelen-nya ialah berbicara mengenai Pemalsuan Surat.
Logika hukumnya, Pertama: Kaitannya dengan surat-surat kendaraan berupa BPKB maupun STNK, yang sebenarnya bukan merupakan surat asli daripada unit yang hendak dibawa pelaku David Yulianto. Kedua: Kaitannya dengan fakta yang terjadi jelas pelaku mengakui bahwa itu adalah nopol palsu dan bukan asli. Artinya murni perbuatan itu dilakukan dengan sengaja, sebagaimana penulis utarakan dalam paragraf sebelumnya. Sehingga kebenaran materiil yang dimaksud penulis kaitannya dengan case tersebut kebenaran yang diperoleh dari fakta-fakta ada.
Merujuk pada fakta-fakta tersebut bagi penulis, penyidik Polda Metro Jaya keliru atau kurang memahami secara komprehensif ataupun bisa dikatakan sengaja tidak memasukan pasal pemalsuan tersebut ke dalam case ini. Kenapa penulis katakan demikian, karena berdasarkan hasil penyidikan (Jakarta Kompas.TV, 5/5/2023). keterangan yang diperoleh dari pelaku bahwa ia membeli senjata api jenis air softgun tersebut seharga Rp 3,5 juta sekitar April atau Mei 2022, dari seorang yang berinisial E, maka simpel saja pertanyaannya bahwa apakah si E ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh UU untuk melakukan jual-beli senjata api? Begitu pula nopol tersebut diperoleh dari subjek yang sama, dan itu bukan nopol asli unit kendaraan yang dibawa pelaku David Yulianto, maka muncullah pertanyaan yang sama apakah si E ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh UU untuk membuat serta mengeluarkan nopol pada sebuah kendaraan? Kedua pertanyaan ini tentu menjadi renungan kita bersama menunggu babak berikut perkara ini.
Artinya penulis ingin menyampaikan bahwasanya sebagai Aparat Penegak Hukum, penyidik Polda Metro Jaya mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk membuat terang suatu perkara, dan mengungkap siapa tersangkanya, yang dalam hal ini kita kenal dengan istilah penyelidikan dan penyidikan. Oleh karena itu bukan hanya sebatas tersangka David Yulianto, akan tetapi kita menunggu babak selanjutnya, yaitu si orang yang berinisial E ini, karena jelas ini perbuatan pidana yang bagi hemat penulis pelakunya lebih dari satu orang. Dalam konteks teori ini kenal dengan istilah deelneming, atau penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 KUHP.
Menjadi ketegasan penulis dalam tulisan ini bahwa penulis secara pribadi tidak bermaksud menyinggung atau mendiskreditkan pihak-pihak tertentu dalam tulisan ini, namun dari kacamata objektif penulis sebagai orang yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum, hanya memberikan pandangan hukum yang kurang lebih sepanjang dan sependek pengetahuan hukum penulis.
Akhir kata “Supremasi Hukum Indonesia harus Dijunjung Tinggi” tentu dengan prinsip equality before the law. (*)
Tinggalkan Balasan