Tandaseru — Jasri Usman, yang dikenal publik saat ini sebagai Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Maluku Utara, lahir pada 28 Oktober 1970 di Desa Kusubibi, Kecamatan Bacan Barat Kabupaten Halmahera Selatan.
Jasri tumbuh di tengah keluarga yang tingkat kesejahteraan hidupnya teramat jauh panggang dari api.
Ayahnya, Usman Abdullah, petani yang dalam waktu lama dipercaya masyarakat sebagai imam masjid. Sang ibu, Hadijah Gafur, hanya ibu rumah tangga.
10 tahun lebih Jasri menghabiskan masa kecil di tanah kelahirannya. Barang seperti baju jadi benda istimewa baginya. Lantaran untuk memilikinya, Jasri kecil harus menunggu momentum hari raya tiba. Itupun jika orang tuanya punya kelebihan rezeki.
Mata Jasri berkaca-kaca saat mengenang masa-masa itu.
“Waktu saya mau masuk sekolah dasar, tak ada apa-apa sama sekali saat itu. Lalu ibu mengambil baju kakak saya yang sudah tak cocok dikenakannya. Ibu menggunting baju itu, menjahitnya sendiri termasuk menjahit bunga matahari di depan dan belakang baju, benang dari hasil olahan daun nenas. Saya selalu memeluk baju itu,” tuturnya kepada tandaseru.com, Minggu (6/9).
Baju tersebut tak hanya dikenakan saat salat dan mengaji. Melainkan juga jadi seragam sekolah dengan celana yang ditambal kiri kanan, telanjang kaki pula. Jasri tak minder, malahan dari baju itulah benih tekad untuk mengubah hidup mulai tumbuh mekar dalam dirinya.
Seusai menamatkan pendidikan SD, Jasri mulai mengembara, menimba ilmu di Madrasah Tsanawiyah Alkhairaat Bacan. Saat liburan sekolah, ia pulang kampung, melepas rindu pada orang tua dan keluarga. Tapi ia tak pangku kaki, harus bekerja. Bersama kakaknya mencari damar dan mengolah kelapa jadi kopra. Semua demi bisa kembali sekolah setelah masa liburan berakhir.
Pada 1990, lelaki murah senyum ini melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Ternate. Seperti di Bacan, di kota ini pun Jasri numpang hidup di pengampun di Kelurahan Bastiong. Jarak tempat tinggal yang begitu jauh dengan sekolah sering ia tempuh dengan jalan kaki sesuatu yang tak mungkin dilakukan anak-anak di zaman kini.
Sambil sekolah, Jasri yang jadi pengurus OSIS bekerja sebagai buruh di pabrik minyak goreng Bimoli di Toboko. Ia harus membantu meringankan beban orang tua.
“Saya ambil shift malam. Saya sangat bersyukur karena pengampun, yang sudah saya anggap laiknya orang tua sendiri, meluaskan waktu saya sehingga bisa kerja di Bimoli,” kenangnya.
Menjadi buruh di Bimoli dan jalan kaki sejauh itu masih ia tapaki ketika melanjutkan pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Ternate tahun 1990. Padahal selain berstatus mahasiswa, ia aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).
Sebelum di kampus ini, Jasri mengikuti seleksi nasional penerimaan mahasiswa baru dengan membidik jurusan sosial politik pada dua kampus ternama, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Jasri lulus di Unhas yang biaya masuknya berkisar Rp 7 jutaan. Pontang panting mencari bantuan, tak dapat. Lalu bersama kakaknya, keduanya menebang kayu untuk dijual. Dapat empat kubik seharga Rp 3 jutaan, sementara tenggat waktu mendaftar ulang sisa sepekan. Jasri terpaksa mengubur harapannya kuliah di Unhas.
Kecewa, sudah pasti.
Dalam kondisi psikologis seperti itu, ia mendafar di Universitas Khairun Ternate. Namun seorang senior merundungnya dengan ucapan “tidak terima mahasiswa buangan”. Jasri pun memutuskan istirahat alih-alih melanjutkan kuliahnya.
Ia lalu ke Galela, kerja kelapa kopra selama satu tahun demi mengumpulkan biaya kuliah di tahun berikutnya. Hasil peluhnya itu cukup untuk kuliah di luar daerah, namun menimbang usia ibu dan ayah, ia pun mengurungkan niatnya menimba ilmu di Pulau Jawa atau Sulawesi.
Apalagi sang ibu memintanya kuliah di perguruan tinggi agama terbesar di Maluku Utara. Permintaan yang tak kuasa ditolaknya.
Usai menggondol gelar sarjana di IAIN, suami dari Lili Mohdar -perempuan Rua berdarah Ternate tulen itu, menjadi buruh di Pelabuhan Feri dalam waktu cukup lama. Dari pahitnya kehidupan yang dirasakannya, Jasri menemukan makna keberadaannya di dunia. Mengutip Frankl, hidup adalah perjuangan, dan dalam perjuangan aral silih berganti menghadang. Bagai air mengalir, ia tak surut menghadapi semua itu dengan ketulusan hati.
Di sisi lain, sekalipun kedua orang tuanya tak merasakan pendidikan formal, tak pula mengenal aksara latin sebesar gunung, saripati nilai-nilai keagamaan begitu kuat dipatrikan pada Jasri dan saudaranya-saudaranya.
“Ibu saya selalu ingatkan, milik orang lain, milik orang lain. Begitu juga sebaliknya. Artinya, jangan pernah mengambil milik orang lain. Sepanjang hidup saya tetap memegang amanah ibu,” ucapnya.
Kini, hidup Jasri tak seperti dulu lagi. Namun ia tak melupakan orang-orang yang berjasa terhadapnya. Misalnya pengampun-nya waktu sekolah dulu. Hingga kini, silaturahmi itu tetap ia jaga.
Hari ini, Jasri Usman akan mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Ternate sebagai calon wakil wali kota. Ia berpasangan dengan mantan Sekretaris Kota Ternate M. Tauhid Soleman. Pasangan calon berjargon TULUS ini diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Nasdem. Dengan tagline “Harapan Baru Kita”, Tauhid-Jasri siap mengabdikan diri untuk warga Kota Ternate.
Tinggalkan Balasan