Tandaseru — Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara saat ini sebesar 27 persen. Angka ini tertinggi di Indonesia.

“Pertama BPS mencatat pertumbuhan ekonomi 27 sekian persen itu sebetulnya bisa kita baca sebagai indikator makro ekonomi yang sebetulnya secara riil tidak seperti itu keadaannya. Mengapa? Karena ini bisa saya sebut sebagai bubble economy. Mengapa begitu? Pertumbuhan ekonomi tinggi hanya dihasilkan oleh kegiatan di sektor industri pengolahan dan pertambangan,” ujar Akademisi Universitas Khairun Ternate Nurdin I Muhammad, Selasa (6/12).

“Menurut saya itu bukan sektor yang diharapkan sebagai unggulan atau andalan selama ini. Semestinya, basis kita pertanian lebih sustainable atau berkelanjutan,” tambahnya.

Pertumbuhan makro yang begitu tinggi, kata dia, tidak mencerminkan keadaan ekonomi sesungguhnya secara mikro. Karena ada fakta justru kemiskinan ekstrem itu terjadi pada kantong-kantong pertumbuhan ekonomi tinggi ini.

“Sebut saja Halmahera Timur dan Halmahera Tengah. Nah, data statistik terkonfirmasi bahwa angka pertumbuhan miskin ekstrem itu masih tinggi, bahkan tertinggi di Maluku Utara, berada di dua kabupaten ini. Artinya apa? Bahwa pertumbuhan ini tidak korelasi dengan kesejahteraan masyarakat secara riil. Jadi, secara riil tidak ada korelasi positif antara angka pertumbuhan ekonomi tinggi dengan kondisi masyarakat di Maluku Utara,” tegasnya.