Oleh: Wahyudin Madjid

Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Pancasila Jakarta

______

“Setiap orang dilahirkan ke dunia ini dengan perlengkapan penuh, tidak hanya untuk mengurus diri sendiri, tetapi juga untuk memberikan sumbangan kepada kesejahteraan dunia secara keseluruhan. Sebagian orang memperoleh kesempatan menggali potensi mereka, tetapi banyak orang tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan karunia istimewa yang diberikan kepada mereka sejak lahir. Banyak di antara mereka meninggal sebelum menggali karunia tersebut, dan akibatnya dunia terus tidak bisa memanfaatkan sumbanganmereka.”(Muhammad Yunus)

PEMBANGUNAN dianggap telah menjadi jargon yang tidak asing lagi terdengar di kalangan birokrasi, politisi, akademisi, dan pengusaha di daerah. Setiap daerah selalu berusaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya melalui upaya-upaya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Indikator meningkatnya taraf hidup masyarakat dalam suatu daerah tercermin dari kemampuan manajemen ekonomi.

Sebab persoalan ketimpangan saat ini menjadi persoalan di semua bidang kehidupan di setiap daerah, karena tidak ada keberanian untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan keadilan ekonomi. Seperti yang diamanatkan dalam Pancasila sila kelima bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sini seharusnya kita memusatkan perhatiannya.

Kemarin publik Maluku Utara dikejutkan dengan berita di media cetak dan media online yang memuat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara, yang mencatat angka kemiskinan yang terjadi di dua daerah penghasil pertambangan terbesar di Indonesia Timur.

Dalam catatan BPS menyebutkan bahwa angka kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Malut untuk urutan pertama adalah Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) dan kedua Halmahera Tengah (Halteng). Dengan adanya data tersebut mendapat respon berbagai akademisi dan pemerintah provinsi, DPRD maupun pemerintah kabupaten dengan berbagai argumentasi. Sebab dua daerah memiliki kontribusi di sektor pertambangan dan feronikel, namun kedua daerah tersebut mengoleksi angka kemiskinan tertinggi di 10 kabupaten/kota di Provinsi Malut.

Data yang dirilis BPS Malut pada tahun 2018-2020, dengan presentase penduduk miskin di Kabupaten Halteng tahun 2018 = 13,94 persen, 2019 = 14,12 persen, dan 2020 = 13,56 persen. Sementara Kabupaten Haltim tahun 2018 = 13,94 persen, 2019 = 15,39 persen, dan tahun 2020 = 15, 45 persen.

Dengan demikian, realitas kemiskinan kedua kabupaten tersebut harus menjadi tanggung jawab bersama, terutama pemerintah yang menjadi pusat perhatian dalam penyelesaian kemiskinan. Sebab ada faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah terjadinya perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK). Selain itu, juga terjadi peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP), khususnya pada subsektor peternakan dan perikanan. NTP subsektor peternakan dan perikanan dapat mempengaruhi kehidupan sosial.

Dua subsektor peternakan dan perikanan tersebut yang mempengaruhi harga tinggi di daerah pertambangan, dibandingkan dengan daerah bukan penghasil pertambangan. Seperti diketahui bahwa harga ayam potong/ayam broiler utuh sebesar Rp 65 ribu. Harga daging sapi 160 ribu per kilo. Sementara ikan dasar per kilo sebesar Rp 45 ribu. Di Kota Ternate, untuk harga ayam potong/ayam broiler utuh Rp 35 ribu. Harga daging sapi sebesar Rp 130 ribu per kilo, dan ikan dasar per kilo Rp 20 ribu. Belum lagi harga bahan pokok lainnya yang begitu tinggi. Padahal gaji pokok karyawan perusahaan rata-rata menerima per bulan Rp 3,5 juta, dan Rp 4,5 juta. Kemudian harga tarif indekost/sewa kosan yang tembus Rp 1,5 jutaan, dan lain-lain yang tidak berpihak pada upaya penanggulangan kemiskinan.

Untuk dilihat dari gaji yang diterima tidak sejalan dengan harga bahan pokok yang melambung dua kali lipat untuk daerah pertambangan. Dengan demikian, ketidakadilan harga pasar menciptakan angka kemiskinan. Persoalan tersebut tampaknya telah menjadi problem sosial yang sudah mencapai titik yang membahayakan. Sebab kemiskinan juga merupakan ancaman kemanusiaan tersendiri. Ia teramat mudah menyulut konflik sosial daerah pertambangan. Memang pemerintah telah melakukan berbagai langkah untuk meminimalisir dampak kemiskinan tersebut. Sehingga menyiapkan strategi pengentasan kemiskinan melalui program bantuan. Seperti bantuan UMKM, nelayan, pertanian dan beberapa program lainnya yang menyentuh langsung masyarakat. Agar tidak berdampak lebih luas lagi kepada masyarakat. Namun program yang dijalankan ini tidak pernah efektif dan tidak berkelanjutan. Pertanyaannya di mana letak persoalannya?