Oleh: Agus SB

Dosen (tetap) Antropologi, IAIN Ternate

______

PADA hari-hari belakangan ini, perhatian (sebagian dari) kami, sivitas akademika, di Institut nampak tertuju pada suksesi Rektor. Tetapi perhatian saya lebih sebagai keprihatinan terhadap kondisi Institut empat tahun terakhir. Kondisi itu dapat disketsakan dalam dua pola beriringan: pertama, kemajuan empat tahun sebelum empat tahun terakhir nyaris sama sekali lenyap. Seperti sebuah lukisan di kanvas yang dihapus dan dilukis gambar baru namun buram dan karuan, tak jelas bentuk dan pesannya. Inilah karya besar empat tahun terakhir. Kedua, sivitas akademika bergerak di atas papan treadmill, menghabiskan sumberdaya, tenaga, berpeluh, berkeringat, otot dan syaraf otak menegang. Kita hanya di situ, di atas papan itu, hingga loyo. Tidak kemana mana. “Jalan dan jalur mana kita harus lalui selama empat tahun terakhir”, tidak relevan. Tak ada tujuan dan sasaran untuk dituju. 

Empat tahun terakhir adalah kurun nasib mujur bagi Institut, terutama para pimpinannya. Nasib mujur ini, tulis Niccolo Machiavelli (terj.1991),  menunjukkan kekuasaannya sewaktu tidak ada kekuatan lain untuk mengendalikannya. Tetapi segala sesuatu dalam hidup ini memiliki batas. Nasib mujur itu dibatasi oleh sebuah klimaks di penghujung empat tahun ini; Institut ditakar pihak berwenang; mengalami devaluasi. Institut mengidap sindrom treadmill. Pertanyaan patut diajukan kepada para pimpinannya; nilai (value) apa yang anda tinggikan, junjung dan jadikan pusat orientasi dalam setiap aktivitas di Institut yang mengasuh ilmu-ilmu ke-Islam-an ini? Pernahkah anda membaca norma yang mengatur pendidikan tinggi di Indonesia? Saya tidak tahu bagaimana orang yang mengenakan jubah Rektor bersama para wakilnya selama empat tahun terakhir,  memersepsi, memikirkan, mengimajinasikan, dan atau memfantasikan kata “Rektor” selain mengenalnya sebagai nama pimpinan tertinggi institut.