Oleh: Mansyur Armain

______

 

KEDAI kopi Legend House yang beralamat di Kelurahan Tomagoba, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, sudah familiar bagi anak-anak muda Tidore. Di rumah itu, dahulu adalah kantor Sultan Zainal Abidin Sjah. Berlantai dua, lantai satunya dikelola seorang perempuan bernama Vaya dan teman-temannya untuk tempat ngopi.

Untuk melestarikan rumah itu tetap terang dan punya penghuni, Vaya mengajak teman-temannya membersihkan tanpa menghilangkan keaslian rumah Sultan Zainal Abidin Sjah. Mereka lalu mengecat ulang dinding, menata ruangan, dan mengadakan perlengkapan kopi serta kursi dan meja demi kenyamanan tetamu.

Di depan kedai kopi terdapat halaman yang sangat luas. Pada Sabtu (5/6) malam, halaman itu dimanfaatkan untuk sharing tentang pelaku ekonomi kreatif. Dipandu Teguh Tidore, pembicara yang hadir ada Toms dari Wildhouse, Rusli Oches (GoodDaddy), A.H.M (Syukur Dofu), dan Herman Eros (Music Corner).

Sangat senang melihat mereka saling curah gagasan tentang ekonomi kreatif. Panggung beratap langit, potongan kursi dan meja yang sangat unik, ditambah lampu hias malam itu memberi kemerdekaan sendiri.

Tak heran, jika kita lebih dekat mengenal sosok anak muda Tidore yang inspiratif melalui ulasan dan gagasan mereka dalam menggeluti karier di bidangnya masing-masing.

Saya pun memasang telinga, duduk, lalu menikmati malam serta merekam beberapa catatan keempat pembicara satu per satu. Di malam yang cerah itu, saya melihat pelaku ekonomi anak muda di Tidore berkumpul. Mereka duduk, lalu memperhatikan paparan pengalaman para anak muda yang lama berkarier di dunia ekonomi kreatif.

Semangat anak muda yang hadir pada malam itu, nyalakan imajinasi seperti merefleks ulang memori lama yang sempat tenggelam dari hegemoni zaman digilitalisasi. Namun, sebagian, merespon dengan pertanyaan yang sangat membangun.

Hidangan kopi dari Legend House membuat malam itu cukup berarti, tak harus hadir menjadi luka lama, tetapi menambah rasa kepedulian setelah terjebak dalam ketidakberdayaan hirup pikuk kemenangan pesta politik.

Di panggung, Herman Eros yang biasa disapa Babang Eros mulai berucap tentang karier di Music Corner. Menurut Eros, event Kampung Ramean dalam Sail Tidore beberapa minggu lalu bukan kolaborasi melainkan sistem tender.

Para pelaku ekonomi kreatif di Tidore. (Istimewa)

“Bagi saya, kalau berbicara tentang manis-pahit sebuah event, kami adalah pahitnya jatuh bangun. Mengapa ada pasar lain ingin pakai event dan kolaborasi dengan Music Corner, kenapa torang (kami, red) tidak keluar dan menerima tawaran tersebut,”ucap Eros.

Bagi Eros, berproses dan menerima kolaborasi sebagai pintu masuk, walaupun berjalan di jalan terjal penuh kerikil tajam, ia ihklas dan bertahan demi nama Tidore.

Eros bilang, di jalan kolaborasi, tak cukup menikmati keringat dan lelah, namun mereka juga butuh materi.

“Sampai ruang gerak kami diberikan kepada orang lain demi membuat event tersebut. Bahkan ada orang lain yang buat event, mereka bukan lihat tujuan event-nya dan mendatangkan orang untuk melihat Tidore, tetapi melihat oknum siapa yang membuat sebuah event. Di situlah, kolaborasi sangat penting,” tuturnya.

Event tak perlu memasukan nama Music Corner. Cukup beri torang di belakang layar saja. Kami yakin bisa bekerja sama. Itu saja. Tidak yang lain. Contohnya, Tidore belum butuh orang-orang seperti kami, setidaknya, marimoi ngone foturu dan toma loa se banari perlu tertanam di hati bagi anak-anak muda Tidore,” cerita Eros.