Tandaseru — Sejumlah organisasi sipil seperti Environmental Rights Foundation bersama Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dan Wahana lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendampingi warga terdampak, perwakilan masyarakat adat, serta seorang pekerja dari anak perusahaan Walsin Lihwa di Indonesia, turut menyuarakan masalah kerusakan lingkungan di Pulau Halmahera, Maluku Utara, ke dunia internasional, Selasa (5/7/2025).
Mereka datang ke Taiwan dengan tuntutan meminta pertanggungjawaban Walsin Lihwa atas dugaan pelanggaran hak-hak pekerja, serta kerusakan lingkungan dalam rantai pasok nikel yang melibatkan Indonesia.
Suara-suara itu bagi mereka merupakan representasi warga Halmahera, yang saat ini tengah dihadapkan dengan tambang raksasa yang merampas, serta menghancurkan ruang hidup. Selain itu, mereka juga menyoroti masalah hak pekerja di Morowali, Sulawesi Tengah.
Adlun Fiqri, pendiri organisasi komunitas Fakawele, menekankan bahwa penambangan nikel tidak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, terutama bagi komunitas adat Indonesia.
Menurut Adlun, perusahaan juga masih menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara, meski secara global mengklaim mendukung energi terbarukan dan perlindungan HAM, namun faktanya energi yang digunakan justru menjadi bencana, bagi warga lingkar tambang di Halmahera Tengah (Halteng).
“Kami menyerukan kepada perusahaan yang berinvestasi di Indonesia untuk berhenti mendapatkan nikel dari area pertambangan yang bermasalah, aksi ini juga menyoroti investasi Taiwan, baik di Morowali maupun Teluk Weda di Halteng,” kata Adlun.
Adlun menyampaikan, masalah-masalah ini telah menyebabkan kecelakaan yang sering terjadi dan mengakibatkan 30 persen pekerja, jatuh sakit setiap bulan. Mereka menduga bahwa manajemen senior Walsin di Taiwan, mungkin tidak menyadari kondisi tersebut.
Sehingga kedatangan pihaknya ke Taiwan bertujuan menyuarakan dampak lingkungan dari investasi perusahaan Taiwan di kawasan timur Indonesia, termasuk di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara khususnya di Halteng.
Selain itu, lanjut Adlun, Walsin Lihwa juga memiliki anak perusahaan yang membangun fasilitas pengolahan (smelter) di kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Ia juga menyinggung adanya pekerja di Morowali yang mengadukan masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta hak-hak buruh lainnya.
“Kami datang menyampaikan bahwa investasi yang masuk ke Indonesia justru menimbulkan kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, serta mengabaikan hak masyarakat adat,” tegasnya.
Adlun menambahkan, delegasi juga menggelar konferensi pers dan melakukan dialog dengan perwakilan perusahaan untuk menyampaikan temuan mereka. Selain menemui pihak perusahaan, sejak Senin, 4 Agustus 2025, delegasi juga melakukan audiensi dengan Komnas HAM Taiwan dan sejumlah anggota parlemen.
“Kami sampaikan bahwa perusahaan asal Taiwan yang terlibat dalam rantai pasok industri nikel ini berkaitan dengan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan,” tegas Adlun.
Tinggalkan Balasan