Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

_______

Atas nama pembangunan, mari dengar suara lirih dari pulau”

PULAU itu seperti anak tiri dalam rumah besar bernama pembangunan. Laut mengelilinginya bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai batas yang menyingkirkan. Dalam dokumen-dokumen negara yang kaku dan sarat jargon teknokratis, pulau, namanya nyaris tak pernah disebut. Jika pun muncul, ia hadir sebagai angka: luas wilayah, garis pantai, atau potensi tambang, bukan sebagai ruang hidup manusia.

Pembangunan, dalam kerangka modernisasi, memang kerap dipahami sebagai “jalan lurus” menuju kemajuan yang bersandar pada industrialisasi dan urbanisasi (lihat, Rostow, 1960 : 4–7). Namun jalan lurus itu ternyata tidak membentang hingga ke pulau-pulau kecil yang berjajar di tepian republik ini.

Mereka tercecer, tercekat, bahkan terhapus dari peta rencana. Di tengah gelombang proyek nasional, suara masyarakat pulau nyaris tenggelam dalam riuhnya suara mesin ekskavator dan debat ruang di ruang-ruang kantor Pemerintahan.

Dalam kasus Maluku Utara, khususnya Halmahera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, pembangunan acapkali hadir dalam rupa ekstraksi sumber daya: tambang nikel, kelapa, hingga proyek perikanan industri. Ironisnya, alih-alih mengangkat kesejahteraan masyarakat lokal, pembangunan justru menggeser mereka dari tanah adat, menggusur kampung, dan merusak ekosistem yang menopang hidup (Lefebvre, 1991; Tempo, 2022).

Bayangkan sebuah pulau kecil di Laut Halmahera. Ia tidak memiliki listrik 24 jam, akses air bersih terbatas, dan jaringan telekomunikasi terkadang hilang dan tak berfungsi berhari-hari. Namun saat perusahaan tambang datang, rencana pembangunan tiba-tiba menebal. Jalan dibuka bukan ke rumah penduduk, melainkan ke titik konsesi. Dermaga dibangun bukan untuk nelayan, tapi untuk kapal pengangkut logam. Dalam narasi pembangunan versi negara, pulau itu tidak hadir sebagai subjek, melainkan objek yang bisa diolah, dijual, lalu ditinggal.

Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Arturo Escobar, sebagai development as discourse—di mana pembangunan bukan sekadar praktik ekonomi, tapi narasi hegemonik yang mendefinisikan siapa yang dihitung dan siapa yang disingkirkan
(Escobar, 1995 : 9).

Pulau-pulau kecil yang kaya ragam budaya dan pengetahuan lokal, justru tak punya tempat dalam model pembangunan berbasis statistik dan modal. Sebagaimana ditegaskan oleh Tannia Murray Li, pembangunan acapkali “membuat masyarakat lokal dapat dikelola” dengan cara mereduksi kompleksitas hidup mereka menjadi proyek-proyek teknis (Li, 2007 : 17).

Namun, masyarakat pulau tidak selalu diam. Di banyak tempat, muncul gerakan perlawanan berbasis komunitas, mulai dari forum adat hingga protes perempuan nelayan. Mereka menolak dilabeli miskin hanya karena tak memiliki uang tunai, dan menolak disingkirkan dari tanah yang mereka rawat turun-temurun. Perlawanan itu menjadi suara bagi sebuah pembangunan alternatif—yang tidak menyingkirkan, melainkan menghidupkan.

Kita perlu bertanya: apakah pembangunan masih mungkin dimaknai sebagai proses yang adil, kontekstual, dan partisipatif? Ataukah ia akan terus menjadi palu godam yang memukul rata atas nama kemajuan?

Pulau-pulau itu menunggu jawaban. Tapi lebih dari itu, mereka menunggu didengar. (*)