Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________

“Kebebasan pers merupakan cermin dari kebebasan masyarakat itu sendiri”
(Dennis McQuail, 2010 : 183)

SETIAP tanggal 3 Mei, dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia sebagai momen refleksi penting tentang peran vital pers dalam menjaga demokrasi, membela hak asasi manusia, serta melawan penindasan informasi. Penetapan hari ini oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1993 mengacu pada Deklarasi Windhoek tahun 1991, yang menegaskan bahwa “pers yang bebas, pluralistik, dan independen merupakan komponen esensial dari masyarakat demokratis”
(UNESCO, 1991:2).

Hari Kebebasan Pers Sedunia bertujuan untuk: (a) merayakan prinsip-prinsip kebebasan pers, (b) mengevaluasi kebebasan pers di seluruh dunia, (c) membela media dari serangan terhadap independensinya, dan (d) mengenang jurnalis yang kehilangan nyawa saat menjalankan tugasnya (UNESCO, 2022:4).

Dalam konteks global saat ini, tekanan terhadap kebebasan pers kian meningkat. Menurut laporan Reporters Without Borders (RSF) dalam World Press Freedom Index 2024, lebih dari 70% negara mengalami situasi “buruk” atau “sangat buruk” dalam hal kebebasan pers (RSF, 2024). Situasi ini diperparah dengan meningkatnya ancaman kekerasan terhadap jurnalis, penggunaan undang-undang represif, serta penyebaran disinformasi melalui platform digital.

Di era digital, tantangan terhadap kebebasan pers mengambil bentuk baru. Algoritma media sosial dan platform digital acapkali memperkuat informasi yang salah, mempersempit ruang jurnalisme independen, serta menciptakan gelembung informasi (Napoli, 2019). Selain itu, banyak jurnalis mengalami serangan daring, doxing, dan ancaman fisik sebagai bagian dari tekanan sistemik terhadap kerja jurnalistik (Posetti et al., 2020:12).

Namun, era digital juga membuka peluang baru bagi pekerja pers. Model media alternatif, jurnalisme data, dan platform crowdfunding telah memperluas ruang bagi jurnalis independen untuk bertahan dan tetap kritis terhadap kekuasaan.

Menjaga kebebasan pers bukan hanya tanggung jawab jurnalis dan organisasi media, melainkan juga kewajiban seluruh masyarakat. Seperti ditegaskan oleh Dennis McQuail, “kebebasan pers merupakan cermin dari kebebasan masyarakat itu sendiri” (McQuail, 2010 : 183). Oleh sebab itu, dukungan terhadap legislasi yang melindungi kerja-kerja jurnalis, penghentian kriminalisasi pekerjaan jurnalistik, upah rendah, serta kampanye literasi media menjadi langkah-langkah penting untuk menyuarakan suara bening para jurnalis di Hari Kebebasan Pers Sedunia ini.

Khususnya di negara-negara berkembang, kebebasan pers kerap dikorbankan atas nama stabilitas politik atau keamanan nasional. Padahal, transparansi informasi dan kritik yang sehat justru menjadi prasyarat bagi pembangunan yang berkelanjutan (UNDP, 2022:26).

Hari Kebebasan Pers Sedunia bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan seruan untuk terus membela hak, untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi bebas dari intimidasi dan sensor. Di tengah dunia yang kian kompleks dan penuh disinformasi, mempertahankan kebebasan pers berarti mempertahankan demokrasi itu sendiri.

Seperti yang ditegaskan dalam Deklarasi Windhoek+30, “Kebebasan, pluralisme, dan independensi media harus terus diperjuangkan sebagai fondasi bagi semua hak-hak manusia” (UNESCO, 2021:6).

Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia, dengan tulus mari menjaga suara kebenaran nan bening. (*)